***
Saya memang tak senekad Alexander Supertramp dalam film “Into the Wild” yang berjalan sendirian meninggalkan kehidupan dan keluarga bahagianya untuk mencari kebebasan. Tapi saat berjalan sendirian saya juga bertemu dengan orang-orang baik disepanjang perjalanan, hanya saja saya tidak sampai ikut bekerja di kebun gandum agar bisa melanjutkan perjalanan.
Kalau orang bilang jalan sendiri itu tidak asik, sepi atau malah berbahaya, menurut saya cuma sebagian saja yang betul. Walaupun kadang kita butuh waktu untuk menyendiri tapi solo backpacking di bumi Indonesia kita tidak akan kesepian asal kita mau untuk bersosialisasi dengan orang disekitar ketika jalan-jalan. Malah saking senangnya masyarakat lokal dengan kita pejalan yang juga menghormati mereka, tidak mustahil kita diajak untuk menginap di rumah mereka atau bahkan jalan-jalan tanpa harus keluar ongkos alias gratis, tentunya itu yang dicari oleh para backpackerbukan?
Selama ini kebanyakan perjalanan saya lakukan sendiri, kalau tidak ya bersama pasangan. Sangat jarang saya melakukan perjalanan dengan rombongan karena tipe perjalanan yang saya lakukan lebih sering tanpa itineraryyang jelas dan lebih suka sesuatu yang menantang, seperti datang ke satu kota tanpa tahu harus turun dimana dan mau kemana.
Namun dengan kesendirian tersebut membuat perjalanan saya lebih berwarna atau bahkan bertemu dengan sahabat dan keluarga baru di sepanjang perjalanan. Seperti pada suatu ketika saya duduk di depan homestay sambil beristirahat menikmati sore yang dingin di Desa Moni (Flores) setelah menempuh perjalanan panjang selama 3 hari terombang-ambing di atas kapal laut. Seorang pemuda mendekati saya dan bertanya.
"Dari mana bang?", sambil tersenyum dan menjabat tangan saya.
"Dari Kalimantan Bang", jawab saya.
"Oh, dari Kalimantan, saya kira dari ****. Kita gak suka kalau mereka datang, orangnya sombong-sombong", ujarnya.
"Oh, gitu", dalam hati saya berkata untunglah saya tidak mengaku dari kota tersebut, kalau tidak bisa jadi saya digebukin.
"Suka pesta gak?", tanya nya lagi.
"Pesta apa dulu?", sayapun balik bertanya.
"Pokoknya pesta, gimana suka gak?", dia masih belum mau bilang.
"Ya tergantung pestanya gimana bang..kadang suka kadang gak juga", jawab saya masih ragu-ragu.
"Ya sudah, daripada kamu diam di penginapan mendingan ikut saya, saya ajak kamu keliling kampung kita pesta-pesta"
"Okelah", saya pun setuju dengan apa yang dia katakan dan setelah berganti pakaian kita pun langsung berangkat. Ternyata pesta yang dia bilang adalah upacara "Sambut Baru" yang diiringi dengan pesta joget-joget sambil minum “Moke” (minuman keras khas Flores hasil sedapan dari pohon lontar atau enau ), diiringi dengan lagu dangdut, pop sampai house musik, tak heran ada diantara mereka yang sampai teler alias mabuk.
Acara yang dirayakan ketika seorang anak menginjak kelas lima SD ini mirip seperti undangan untuk acara kawinan, tamu datang dengan kado atau amplop dan tuan rumah menyediakan berbagai hidangan khususnya Moke.
Sikap mereka yang ramah membuat saya bisa langsung berbaur dengan mereka dan ikut berjoget di tengah-tengah mereka. Mereka pun mengerti apa yang halal dan haram bagi muslim seperti saya. Indahnya ketika semua penduduk Indonesia bisa hidup berdampingan dan saling tenggang rasa seperti ini.
Lain lagi ceritanya saat saya di Labuan Bajo, saat hampir melupakan mimpi untuk melihat hewan purba di Pulau Komodo karena saking mahalnya sewa kapal kesana, saya dipertemukan dengan Pedi Parera, seorang guide Taman Nasional Komodo. Saat itu saya hanya bertanya tentang bagaimana cara kesana, dia pun langsung menjawab bahwa harga sewa kapal kesana mahal.
Kemudian dia menawarkan untuk ikut dengan rombongan yang dia bawa namun saya harus menunggu selama tiga hari, tak masalah demi gratis ke Pulau Komodo. Walau tetap menginap di penginapan saya juga sering diajak kerumahnya, bahkan dianggap sebagai keluarga sendiri. Perjalan selama tiga hari di Taman Nasional Komodo ini menjadi salah satu trip yang tak terlupakan bagi saya, tidur di haluan kapal dan ikut bantu-bantu di kapal sehingga saya menjadi akrab dengan semua penghuni kapal itu, dari koki sampai tamunya yang berasal dari Perancis.
Masih dalam rangkaian perjalanan saya selama hampir 40 hari ini. Ketika mampir di Lombok setelah sebelumnya menginap di rumah Rinja di Mataram saya menuju ke Gili Trawangan. Di sana kembali merasakan keramahan dan kebaikan masyarakat Indonesia, dari awalnya bertanya tentang tur ke tiga Gili kepada Bang Jo hingga akhirnya saya hanya keluar uang hanya untuk penyeberangan ke Gili Trawangan, sisanya tak ada sesenpun uang yang meninggalkan dompet saya yang memang sudah sekarat itu.
Setibanya di Gili Trawangan saya diajak langsung ke sebuah cafe dan menitipkan ransel di dapur, ketika mau sewa alat snorkelingdia hanya bilang "sudah pakai saja, gak usah dipikirin". Setelah selesai dan bertanya berapa harga sewanya ternyata digratiskan, "Alhamdulillah".
Kebaikan Bang Jo masih berlanjut, siangnya sepulang dari menyusuri jalan di Gili Trawangan yang bebas dari kendaraan bermotor dia mencari saya dan mengajak makan siang, walau saya menolak dia tetap memaksa, akhirnya merasakan juga makan di Cafe Gili Trawangan.
Tak hanya itu ketika mau kembali menyeberang ke Bangsal Pamenangan sayapun langsung diajak naik kapal dan diberitahu untuk bayarnya nanti kalau sudah sampai di seberang, ketika sudah sampai di seberang dan mau bayar ternyata dibilangin sama yang jual karcis "Udah gak usah aja, itu sepupu saya", katanya sambil menunjuk Banj Jo. Eh, Gratis lagi deh.
Dalam perjalanan berikutnya ke Wakatobi saya kembali bertemu keluarga baru. Berawal dari bincang-bincang dengan Pak Bakhtiar di atas kapal dari Wanci ke Tomia yang bergelombang, saya diajak untuk singgah di rumah beliau.
Memang kali ini di Tomia saya belum memutuskan untuk tinggal dimana dan mau kemana. Walau baru bertemu di kapal kebaikan keluarga Pak Bakhtiar yang seorang kepala sekolah di sebuah SMP di Pulau Tomia tidak tanggung-tanggung, saya dianggap sebagai keluarga sendiri.
Malam-malam kita ngobrol tentang banyak hal di depan rumah sambil menikmati kencangnya tiupan angin laut, Pagi harinya ketika sedang berjalan menyusuri pantai, ternyata beliau sedang membersihkan Ketintingnya (perahu kecil dengan mesin tempel) dan sayapun langsung ikut membantu, ternyata ini adalah persiapan untuk mengantar saya snorkeling nanti siang sepulang sekolah, akhirnya saya tidak perlu susah-susah lagi untuk memikirkan sewa perahu untuk berkeliling karena beliau yang mengantarkan saya.
Tinggal di rumah malaikat penolong bukan kali itu saja, ketika di Raja Ampat berkat saran Kak Inyong sayapun tinggal di rumah adik iparnya di Pulau Saonek. Ayahnya Reza ini di panggil Abang bukan hanya oleh saya, tetapi juga banyak para pendatang yang sempat tinggal di rumah beliau sebelum akhirnya tinggal menetap di Saonek, seperti para pegawai perhubungan yang saya tumpangi speed boatnya untuk kembali ke Waisai.
Bahkan ketika pertama kali datang saya menyangka anak kecil yang digendong istrinya adalah anak mereka. Baru saya ketahui setelah diceritakan bahwa itu adalah anak orang lain yang mereka rawat karena ayahnya yang tidak bertanggung jawab terhadap ibunya, namun tak terlihat sama sekali bahwa itu bukan anak mereka karena saking sayangnya keluarga ini kepadanya.
Selain itu masih ada dua orang yang juga tinggal dirumah ini.”Mereka sudah biasa, kalau mau makan tinggal ambil sendiri saja didapur, jadi kamu juga jangan malu-malu”, ucap beliau.
Sekali lagi saya terpesona oleh kebaikan masyarakat Indonesia, saya yakin dimanapun berjalan saya akan bertemu dengan keluarga baru yang dengan ikhlas menolong pejalan yang sedang mengembara. Bukan hanya keluarga, sahabat barupun saya temukan disepanjang perjalanan.
Bersambung di bagian kedua.
Happy Responsible Travel!
Indra Setiawan (Follow @bpborneo)
0 komentar:
Posting Komentar