Pusat peradaban selalu ditemukan tak jauh dari sungai, begitu juga dengan kehidupan masyarakat Kalimantan yang tak bisa jauh dari sungai. Salah satunya di sepanjang sungai Barito yang mengalir sepanjang kurang lebih 909 Km, membentang dari Kabupaten Murung Raya di Kalimantan Tengah sampai Kota Banjarmasin di Kalimantan Selatan.
Ketika menyusuri Sungai Barito dari Banjarmasin menuju Puruk Cahu yang ditempuh kurang lebih 2 hari 2 malam, di sepanjang perjalanan kita akan menemukan desa-desa yang kebanyakannya di huni oleh suku Dayak Bakumpai. Pemandangan khas yang akan kita temukan di setiap desa adalah adanya rumah terapung yang berjejer di tepi sungai. Lanting, demikian rumah tersebut dinamakan.
Pemandangan Sungai Barito |
Seperti halnya rumah di darat, Lanting juga mempunyai struktur bangunan yang lengkap. Hanya bedanya dibangun di atas beberapa batang kayu besar yang berfungsi sebagai pelampung. Kayu-kayu besar yang berdiameter tak kurang dari satu meter itu disatukan dengan oleh pondasi kayu yang juga berfungsi sebagai lantai dari rumah lanting.
Setelah batang-batang pohon yang berasal dari hutan Kalimantan tersebut disatukan, barulah pembangunan Lanting dilanjutkan seperti membangun rumah kayu pada umumnya. Dimulai dari tiang-tiangnya yang dipancangkan, kemudian barulah atapnya dipasangkan. Setelah atap terpasang sempurna barulah dinding dan sekat-sekat dari papan kayu dipakukan ke tiang–tiang yang sudah siap sebelumnya.
Tali untuk menambatkan lanting ke daratan |
Tak lupa juga dibuatkan toiletyang biasa disebut “Jamban” di bagian belakang bangunan utama, namun jangan harap menemukan kloset di sana, hanya ada lobang kecil dibagian tengah untuk kita “menabung” sehingga tabungan kita akan langsung jatuh ke air sungai.
Jadi disarankan bagi yang mandi disungai untuk melihat kehulu, apakah Jambannya berisi karena biasanya Lanting-lanting tersebut saling sambung menyambung dari desa berawal hingga penghujungan desa di bagian hilir. Lanting tak hanya digunakan sebagai tempat tinggal, ada juga lanting yang lebih sederhana yang cuma digunakan untuk MCK, hanya ada Jamban dan didepannya digunakan untuk mandi dan mencuci.
Penginapan Terapung |
Bangunan yang mengapung di atas air tersebut juga tak kalah dengan rumah yang terletak di di atas tanah, berbagai macam dan bentuk Lanting bisa kita temukan. Hotel, rumah makan, toko bahkan SPBU juga ada.
Konon dulunya di desa-desa yang berada di sepanjang sungai Barito pada mulanya berawal dari Lanting, kemudian semakin lama Lantingnya makin banyak dan sebagian masyarakat makin banyak pula yang beralih ke atas daratan.
Ketika ada kapal yang lewat, penghuni lanting harus siap-siap terkena goncangan dari gelombang yang ditimbulkan kapal. Tak hanya siang hari, di malam haripun selalu ada kapal melalui sungai yang menjadi urat nadi transportasi di pedalaman Kalimantan, yang sebagiannya masih belum tersentuh oleh jalan aspal.
Pelabuhan dan pos polisi |
Salah satu keribetan mempunyai lanting adalah adanya pasang dan surut sungai yang setiap hari berubah, ketika sungai sedang surut maka pemilik lanting haruslah mendorong rumahnya ke tengah agar tidak kandas di tepi sungai. Cara mendorongnya adalah dengan mencongkel ujung kayu yang digunakan sebagai titian untuk naik ke darat dengan sepotong kayu, hingga kembali masuk ke air. Begitu pula ketika debit permukaan air sungai mulai naik maka tali tambatan harus kembali di kencangkan agar lanting tidak hanyut terbawa arus air.
Lanting dwi fungsi anti banjir |
Seiring dengan semakin susahnya mendapatkan kayu sebagai bahan pembuatan lanting, tampak pembangunan lanting sekarang ini stagnan dan malah makin berkurang, disamping masyarakat yang lebih suka membangun rumahnya di atas tanah karena lebih praktis dan tidak perlu perawatan ekstra. Entah apakah cucu dan cicit kita nanti masih bisa melihat atau menikmati sensasi tinggal di rumah lanting ini.
Happy Responsible Travel!
Indra Setiawan (Follow @bpborneo)
0 komentar:
Posting Komentar