Tourism Alternative

Jalan-jalan Sendiri, Siapa Takut?!

https://tourismalternative.blogspot.com/2013/05/jalan-jalan-sendiri-siapa-takut.html

Menyambung tulisan sebelumnya (SoloBackpacking, Alone but Not Lonely). Baca postingan tersebut sebelum membaca yang satu ini.
 Saya yakin dimanapun berjalan saya akan bertemu dengan keluarga baru yang dengan ikhlas menolong pejalan yang sedang mengembara. Bukan hanya keluarga, sahabat barupun saya temukan disepanjang perjalanan.
Masih cerita dari Wakatobi, awalnya dia hanya seorang tukang ojek yang saya tumpangi dari pelabuhan Kaledupa, hingga akhirnya Ulan mengajak saya ke kampungnya untuk mencarikan kapal penyebrangan ke Pulau Hoga. Ternyata teman-temannya banyak yang ikut menyeberang, sebelumnya mereka menyempatkan untuk membeli ikan segar beserta makanan khas Wakatobi, Kasuami.
Sesampainya di Pulau Hoga mereka langsung membakarnya, uniknya ikannya diletakan begitu saja diatas api kemudian setelah matang barulah diangkat dan dilepaskan kulitnya yang gosong kena api serta langsung dicuci dilaut, tak perlu garam lagi karena waktu mencuci sudah langsung dibumbui oleh air laut yang asin. Kebayang sendiri kan nikmatnya makan ikan bakar ditepi pantai? Apalagi ditengah kondisi perut yang memang kosong.


Tak hanya dengan warga lokal, dengan sesama pejalanpun seringkali kita akan merasa sehati dan senasib ketika diperjalanan, bahkan kemudian memutuskan untuk jalan bersama ke destinasi selanjutnya, bahkan ada juga yang tak hanya jadi sekedar travelmate namun akhirnya jadi soulmate. 
Pengalaman jalan-jalan sendiri dan kemudian bertemu teman baru dijalan juga saya alami di Palangkaraya, waktu itu kebetulan berbarengan dengan tahun baru, daripada sendirian di kost akhirnya saya nekad sendirian naik motor ke Palangkaraya. Semua tempat wisata dipehuni oleh orang-orang yang berlibur, ketika menikmati pemandangan di puncak Bukit Tangkiling saya bertemu dengan Gusti dan teman-temannya yang semuanya cewek.
Sehabis ngobrol-ngobrol dan menikmati kita turun sama-sama dan melanjutkan perjalanan ke tempat wisata lainnya seperti kebun binatang dan Fantasi Beach, menjelang sore hari barulah kita berpisah setelah menikmati nikmatnya Bakso dan Mie Ayam. Walau sudah berpisah kita tetap menjalin komunikasi walau hanya melalui dunia maya.
Solo Backpackingmemang kadang lebih mahal jika kita harus sewa penginapan atau kapal sendirian, namun juga lebih mudah untuk nebeng secara gratis karena kita sendirian tidaklah terlalu merepotkan bagi orang lain, beda kalau kita berombongan.
Seperti trip terakhir saya ke Taman Nasional Tanjung Puting lalu, biasanya wisatawan yang datang ke Tanjung Puting harus menyewa perahu untuk menyusuri sungai Sekoyer dan biasanya juga menginap diatas kapal tersebut. Tentunya sewa kapal tersebut tidaklah murah, hampir dua juta untuk satu harinya.
Ketika itu saya nekad seorang diri dan berharap semoga ada kapal yang akan berangkat dan bisa saya ikuti. Setibanya di pelabuhan Kumai saya segera mendekat ke sebuah kapal yang bersandar dipelabuhan, setelah tanya-tanya ternyata mereka yang akan berangkat, namun sayangnya mereka akan berlayar selama 5 hari, sedangkan saya hanya punya waktu 3 hari.
Akhirnya Mbak Conni yang punya kapal memberi usul saya bisa ikut sampai Tanjung Harapan dan Pondok Tanggul, dari situ bisa ikut Speed Boat yang sering lewat untuk kembali ke Kumai. Namun ternyata tuhan berkehendak lain, akhirnya saya menyewa kelotok untuk menuju Camp Lakey dan menginap di pondok rangeryang sudah tua di camp Pondok Tanggui. Hanya Pak Satri dan keluarganya yang tinggal disini ditemani oleh Orangutan yang kadang mampir ke dekat pondokan. Keadaan pondok yang sudah tua ini sudah rusak dimana-mana, walau yang mengelola Taman Nasional ini adalah yayasan namun bantuan pemerintah tak pernah datang, “Sudah sering orang dari dinas datang kesini untuk ngukur dan foto-foto namun tak ada kelanjutannya,” bilang Pak Satri.
Besok harinya saya tidak jadi ikut speedboat kembali ke Kumai karena diajak oleh Nurul untuk ikut kapalnya yang kebetulan bersandar di Pondok Tanggui. Di kapal ini saya kembali bertemu keluarga baru, awak kapal yang kompak dari kapten kapal sampai kokinya, Kevin sang tamu dari Manchester yang ternyata tidak suka bola namun sudah kemana-mana jalannya. Dan tentu saja Nurul, guidenya yang suka bercerita dengan bahasa Inggrisnya yang bagus.
Namun nekad seorang diri bukan nekad jenis yang sembarangan, kita juga harus mengetahui daerah yang kita tuju, apakah itu daerah yang sedang ada konflik atau tidak. Itinerary juga harus dipersiapkan, tapi itinerary bukanlah kitab suci yang tidak boleh di langgar, kondisi di lapanganlah yang lebih menjadi bahan pertimbangan. Tak salah juga ada yang jalan tanpa itinerary namun minimal kita mengetahui tujuan kita apakah itu daerah pantai atau pegunungan, tidak lucu kan ketika kita ke pantai pakai jaket tebal untuk ke gunung?
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, jangan lupa bergaul dengan masyarakat setempat karena keasyikan menikmati keindahan alamnya, merekalah yang lebih mengetahui tentang daerahnya sendiri bukan mustahil kita akan ditunjukan tempat baru yang tidak diketahui oleh umum. Jadi, jangan takut untuk menjelajahi Indonesia seorang diri. Kita akan bertemu dengan saudara baru, sahabat baru dan tentunya pengalaman baru dalam perjalanan.
“Travel is more than the seeing of sights; it is a change that goes on, deep and permanent, in the ideas of living.” – Miriam Beard

Happy Responsible Travel!
Indra Setiawan (Follow @bpborneo)

0 komentar:

Posting Komentar

Support by: Informasi Gadget Terbaru - Dewa Chord Gitar | Lirik Lagu - Kebyar Info
Copyright © 2014 Tourism Alternative Design by SHUKAKU4RT - All Rights Reserved