Perjalanan dari Bau-bau ke Pulau Wangi-wangi di tempuh sekitar 10 jam, makanya kapal yang menuju Wakatobi rata-rata berangkat dari Pulau Buton di malam hari sehingga sampai di tujuan di pagi hari. Di kapal kita dapat tempat tidur (matras) sesuai dengan no di tiket kita, dan sialnya saya dapat di tengah-tengan diantara dua perempuan sehingga jadi kuarang bebas bergerak dan memilih membenamkan diri didalam sleeping bag karena tak ada yang bisa dilihat di malam hari di tengan lautan.
Tak ada sunrise di kapal karena langit tertutup oleh mendung tebal, ketika merapat di dermaga wanci saya pun langsung menghubungi Anton, teman di wanci yang dikenalkan oleh teman-teman di Bau-bau. Tak lamapun dia datang dan kita langsung menuju rumahnya yang juga berada di tepi laut.
Desain rumah yang dibangun di atas laut dan dengan lantai bambu yang jarang-jarang sehingga kita bisa mancing dari dalam kamar, entah bagaimana kalau rumah seperti ini dibangun di Kalimantan, pasti banyak nyamuk. Hal menakjubkan pertama yang saya temui di Wakatobi. Setelah mandi kita pun menikmati teh panas di dermaga di depannya rumah Anton sambil mendengarkan cerita wanci dari teman baru saya ini. Tak jauh terlihat perkampungan suku Bajo berada di atas laut dan sesekali mereka lewat dengan perahu atapun ketinting mereka, bahkan ketiga 17 agustusan ada lomba balap perahu ketinting, tak terbayangkan bagaimanakeseruannya. Perkampungan suku Bajo di Wanci sudah menyatu dengan daratan, dan termasuk yang terbesar juga.
Mendekati pukul 8 saya diantar menuju Pelabuhan Mola bersama adik perempuan dan tunangannya, sebelumnya kita mampir di pasar yang saya manfaatkan untuk membeli handuk yang ketinggalan. Pelabuhan sudah di sibukan dengan berbagai aktifitas, bnyak kapal kayu yang bersandar, ada yang menuju Keledupa, Tomia maupun Binongko. Dan tujuan saya selanjutnya adalah Pulau Tomia, setelah bertanya yang mana kapal yang berangkat kesana sayapun langsung naik untuk meletakan tempat dan keluar lagi, ternyata saya diberikan Nasi bambu yang banyak di jual di sini, katanya sebagai bekal untuk dikapal atau oleh-oleh untuk orang Tomia, padahal saya sendiri tidak tau siapa yang akan di temui di sana.
Perjalanan menuju Tomia sekitar 4 jam dengan Kapal kayu, namun ternyata kali ini gelombang cukup besar sehingga goncangan kapal sangat terasa, bahkan air laut seting memercik ke dalam kapal, namun saya pernah merasakan yang lebih besar di Pulau Komodo. Di kapal ini saya tidak kebagian tempat tidur dan kapalnya jauh lebih kecil daripada kapal dari Bau-bau yang saya naiki kemaren, saya memilih duduk di bagian depan kapal sambil melihat-lihat pemandangan. Di kapal saya berbincang-bincang dengan para penumpang lainya bahkan saya ditawari untuk menginap di rumah seorang bapak Kepala Sekolah.
Akhirnya penderitaan pun berakhir, kapal kitapun merapat di Pulau Tomia tepatnya di pelabuhan Waha, ada dua pelabuhan di Tomia yang yaitu pelabuhan Usukuu dan Waha tempat kita merapat sekarang. Dengan dijemput anaknya Pak Bakhtiar kita menuju rumahnya yang ternyata tidak begitu jauh dari pelabuhan. Setelah makan sayapun segera beristirahat, ketika berbaring di atas serasa masih bergoyang-goyang di atas kapal.
Sore harinya saya ditemani Maman, anaknya Pak Bakhtiar berkeliling Pulau Tomia, uniknya di sini mereka juga menggunakan helm ketika berkendara namun helmnya masih helm Kerupuk yang sudah dilarang karena tidak sesuai dengan SNI. Melewati kampung-kampung kecil di Tomia mengarah ke bagian sebelah pulau dengan melewati bagian tengahnya tampak rumah-rumah khas penduduk desa yang berbentuk rumah panggung dan dibagian bawah tiang utama rumahnya diganjal dengan batu. Ada juga benteng di bagian atas bukit kemudian tak lama kita sampai di tujuan kita yaitu Puncak Kahiangan, salah satu tempat syuting film Mirror Never Lies. Tempat ini berbentuk seperti padang savanna namun dengan dasar yang tampaknya seperti karang, bahkan di dekat sebuah tambang kapur saya menemukan batu yang seperti bekas kerang besar. Di kejauhan kita bisa melihat pulau Tolandona dan pulau-pulau kecil lainnya. Sebenarnya tempat ini adalah tempat yang puas untuk menanti sunset, namun karena di barat saya lihat tetutup oleh awan teban dan matahari tidak tampak sehingga saya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, di tambah lagi ada orang gila yang lagi nongkrong di situ dan katanya dia sering mengganggu orang.
Turun dari puncak Kahiangan ternyata kita langsung sampai di desa Usuku, ibu kota kecamatan Tomia Timur. Desa Usuuku juga lumayan ramai dan rumah-rumah tersusun dengan rapi, hanya sayang jalannya saja yang agak rusak. Ketika mendekati Waha di dekat sebuah tugu entah tugu apa saya juga kurang faham saya mengajak Manan untuk berhenti karena keliatannya dari sini pemandangan kea rah laut terlihat luas dan pas kea rah matahari terbenam. Ketika sedang foto-foto ada dua orang gadis yang lewat dan langsung meyapa “Ka Indra ya??”, ternyata sangkaan saya tidak salah dia adalah Ningsing yang pernah saya sms ketika bertanya-tanya tentang Tomia, saya kenal dia dari teman-teman yang sebelumnya ke Tomia. Karena sudah sora sayapun hanya mampir di depan rumahnya dan ngobrol sebentar dengan ibunya.
Di pagi hari pertaman di Tomia saya agak terlambat, namun tetetap saja saya menuju pantai yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah, matahari sudah mulai meninggi sehingga moment sunrise hari terlewatkan, namun kesibukan nelayan yang baru datang melaut membuat saya penasaran untuk mendekat, tampak ikan-ikan masih melekat di jaring mereka dan satu persatu dilepaskan, ternyata mereka baru berangkat melaut pukul 4 subuh, hanya sekitar 2 jam melaut sudah sebanyak itu tangkapan mereka, apalagi kalau selama satu malam penuh,. Ini menunjukan betapa kayanya lautan Wakatobi.
Ketika saya melanjutkan perjalanan mnyusuri pantai ternyata ada Pak Bakhtiar yang sedang membersihkan body ketintingnya, ternyata persiapan nanti siang untuk mengantar saya keliling dan snorkeling, asyeeeek. Sayapun langsung membantu, ternyata untuk menghilangkan lumut yang menempel dibagian bawah cukup dilumuri dengan iar aki kemudian cukup diusap dengan kain maka lumut-lumut tersebut langsung lepas dengan mudahnya.
Selesai membersihkan Body kitapun balik ke rumah untuk sarapan. Oh ya di Wakatobi orang-orang menyebut kapal kecil baik yang bermesin ataupun tidak dengan sebutan Body, ada juga yang yang bermesin disebut dengan ketinting.
Karena kita berangkat setelah Pak Bakhtiar pulang dari sekolah sayapun memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan di sekitar kampung. Penduduk Tomia ramah-ramah, ketika saya lewat senyuman mereka selalu tersungging, walau di pagi hari yang banyak terlihat para ibu-ibu. Sampai di pelabuhan ternyata pelabuhan lagi ramai-ramainya, ada dua kapal yang akan merapat yaitu dari Bau-bau dan Keledupa.
Dari pelabuhan saya menyusuri bagian pinggir laut, ketika di sebuah pondok di pinggir pantai saya berhenti dan ngobrol dengan seorang bapak yang ternyata punya dive centre yang beru dibangun dan masih belum punya nama, semakin lama ngobrol ternyata Pak Ade ini juga yang menemani rombongannya Yusuf di Wakatobi. Saya juga ditarai untuk diving dengan harga Rp. 350.000, sebenarnya saya ingin sekali namun karena sudah siang dan sudah ada janji dengan Pak Bakhtiar terpaksa saya tolak.
Beliau juga menyewakan kapal untuk explore pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Tomia, seperti Pulau Ndaa yang sangat cantik dengan pasir putihnya. Dari beliau juga saya tau spot-spot terumbu karang di sekitar Pulau tomia yang hampir 50 Dive Spot, yang tak akan cukup dijelajahi selama satu minggu, katika mau balik saya dipinjami petanya untuk saya fotocopy.
ketika pulang saya singgah di tetangga rumah ngobrol dengan ibu-ibu yang sedang santai, tak lama salah satu mengambilkan Kelapa muda yang ada depan rumah dan langsung dibelahkan untuk saya, ketika saya coba untuk membelah sendiri ternyata tak semudah ibu tadi, berkali-kali baru tembut, tak seperti ibu tadi Cuma sekali tebas langsung tembus, saya jadi malu sendiri.
Waktunya untuk nyebur ke Laut, dengan kentintingnya Pak Bakhtiar kita menuju spot snorkeling yang pertama yaitu yang bernama Marimabuk, mungkin dinamakan Marimabuk karena tempat ini memang bikin mabuk dengan keindahan terumbu karangnya, itu Cuma dengan snorkeling apalagi kalau dinikmati dengan Diving katanya lebih indah lagi. Tak jauh dari Marimabuk juga ada spot snorkeling lain yang yang tak kalah indah, karang di sini rata-rata berjenis karang lunak yang berwarna-warni sehingga membuat waktu di dalam air menjadi tidak terasa dan ikanyapun sangat banyak ragamnya.
Kemudian kita melanjutkan ke tempat selanjurnya yaitu Pulau Onemobaa, di sinilah ada Wakatobi Dive Resort milik bule dari Swiss yang dibayarnya dengan dollar, bahkan dive tripnya selamay 3 hari saya dengan sampai 40 juta per orang. Tak sembarangan orang local yang boleh masuk ke sini, sungguh ironi di negeri sendiri sampai sekarang masih ada penjajahan dalam bentuk lain. Tak jauh dari resort ini ada sebuah bangunan yang takpak seperti villa namun tidak terurus, katanya punya pemda.
Bahkan sampai pantai dan laut di depannya beri pembatas dengan pelampung, katanya kalau ada yang masuk atau mendekat akan diteriaki sama securitinya. Namun kita tak kalah akal, kita mulai snorkeling dari agak jauh kemudian mengikuti arus laut sampai dekar resort. Sebelumnya terlihat beberapa bule yang sedang masuk keluat untuk diving dan langsung ditinggalkan oleh speedboatnya kembali.
Ketika mulai menceburkan diri sayapun tak berhenti berdecak kagum dan bersyukur karena dapat menikmati keindahan bawah laut di sini, dan ini adalah spot sorkling paling indah yang pernah saya lihat, bahakan lebih indah dari Taman Nasional Komodo. Karangnya sangat rapat dan sehat, hampir tidak ada kelihatan pasir di dasarnya, tidak seperti di marimabuk yang masih ada di beberapa tepat pasir dasar lautnya. Ikan-ikannyapun ada berbagai macam bentuk dari yang kecil dengan gerombolanya sampai yang besar sendirian, kemudian saya juga menemui sepasang lion fish yang sangat cantik dan sedang bermain-main dengan tenangnya tanpa takut akan kehadiran saya. Walaupun cantik jangan coba-coba untuk menyentuhnya kalau tidak ingin kelonjotan di dalam laut karena ikan itu termasuk yang berbahaya di laut, namun walaupun ikan lain di dalam laut tidak beracun kita tidak boleh untuk menyentuhnya untuk turun menjaga kelentariannya, baik itu ikan, terumbu karang, bintang laut maupun benda lain di dalam air, karena seperti manusia juga kalau terlalu sering diraba nanti jadi stress.
Rasanya belum puas berada di bawah air namun kita sudah dekat dengan dermaga Wakatobi dive Resort, kitapun segera naik ke perahu dan kembali karena tak terasa matahari sudah hampir pulang ke peraduannya. Di perjalanan pulang saya mencoba untuk menyetir Ketinting yang kita naiki, karena dulu waktu masih SMP kita juga punya yang sejenis ini disaat akses jalan di Kalteng masih belum bagus, dan sungai barito merupakan jalan raya bagi kapal-kapal. Matahari terbenam menjadi background perjalanan pulang kita, namun kita harus mencari jalan yang lebih dalam karena laut sudah mualai surut. Di pantai kitapun tidak bisa sandar di tempat kita sebelumnya dan hanya sampai pantai yang agak jauh yang penuh lanun dan menyeret body sambil berjalan terlebih dahulu.
Malam terakhir di Tomia saya duduk di depan rumah sambil ngobril dengan Pak Bakhtiar dan banyak belajar dari beliau, tak lupa juga saya memotocopy Peta Dive Spot yang diberikan Pak Ade tadi, ketika di tempay fotocopy yang punya menegur saya “Backpacker dari mana?”, mungkin melihat kaos BPI yang saya pakai. Ternyata dia juga punya keinginan untuk jalan-jalan ala backpacker namun karena sudah berkeluarga jadi tidak bisa melaksanakan keinginannya itu.
Tak terasa ini hari terakhir saya di Tomia, pagi-pagi saya ke pelabuhan untuk bertanya jam berapa Kapal berangkat dan ternyata kapal yang berangkat adalah kapal yang saya tumpangi ketika berangkat kemaren. Tujuan saya Selanjutnya adalah Pulau Hoga, namun saya harus terlebih dahulu menuju Pulau Keledupa. Setelah berpamitan dengan keluarga Pak Bakhtiar saya berjalan kaki menuju pelabuhan, sambil menunggu kapal berangkat saya bermain-main dengan anak-anak yag sedang mandi di Pelabuhan Wakatobi, mereka sangat senang ketika saya foto sambil loncat ke laut, cara mereka memperkenalkan diripun mirip seperti cara perkenalan “Si Bolang”, dan ketika kapal saya berangkat mereka tak henti-hentinya melambaikan tangan kepada saya. (BERSAMBUNG ke PART 3)
SELENGKAPNYA DALAM FORMAT PDF BISA DI DOWNLOAD DI SINI [LINK]
0 komentar:
Posting Komentar