Mas Tarmizi yang sedang menikmati selimut tebalnya saya bangunkan untuk berpamitan, berterima kasih atas segala kebaikannya selama saya berada di kota yang dingin ini, Bajawa. Dan sesuai petunjuk masyarakat di sana bahwa bus yang akan menuju Labuan Bajo hanya ada satu, dan berangkat pukul 7 pagi, akan melewati perempatan di pasar Bajawa. Namun setelah ke perempatan hanya ada beberapa ibu-ibu yang sedang berjualan dan mereka menyarankan untuk menuju Terminal karena walaupun biasanya Bus yang bernama Gemini ini akan melewati tempat ini namun lebih baik menunggu di terminal karena tidak mungkin ketinggalan bus.
Mesjid tempat saya menginap |
Akhirnya ada ojek yang lewat dan sayapun minta antarkan ke terminal, di perjalanan gerimis mulai turun dan pagi yang dingin semakin dingin saja. Ternyata kata bapak ojeknya saya tidak harus ke terminal untuk menunggu bus ini, lebih baik di pertigaan arah ke Ruteng, karena di situlah busnya akan menunggu. Saya menunggu di depan sebuah warung yang masih tutup, dan ketika sudah buka ibu yang punya tetap mempersilahkan saya untuk menunggu di sana, sekali lagi kebaikan warga Flores saya terima. Bus yang di tunggu tak kunjung datang juga, namun ketika ada yang datang dan menunggu Bus Gemini juga saya akhirnya tenang karena at least saya tidak sendiri. Ketika saya liat sekeliling tidak ada warung makan yang menjual nasi, di warung tempat saya berteduhpun tidak ada menjual roti atau sesuatu yang bisa untuk mengganjal perut.
Bus yang ditunggu-tunggu akhirnya muncul, kamipun segera masuk, namun karena masih kosong Busnya nongkrong lagi di pertigaan untuk menunggu penumpang. Karena masih belum berangkat sayapun pergunakan kesempatan ini untuk berjalan-jalan mencari sarapan, namun saya hanya bertemu warung kecil yang menjual roti, dan sayapun membeli roti untuk sarapan pagi ini, terlihat pisang goreng yang di jual oleh ibunya membuat saya memutuskan untuk makan pisang goreng terlebih dahulu dan roti untuk bekal di dalam Bus.
Akhirnya sekitar pukul 8 bus pun berangkat, namun kebali ke kota terlebih dahulu untuk mengambil penumpang dan yang lebih parah harus mutar-mutar karena alamatnya tidak jelas. Sampai sopirnyapun ngomel-ngomel kenapa tidak ke terminal saja untuk menunggu bus, tapi yang namanya bus lebih butuh duit untuk setoran ya jadinya tidak seperti di Jawa dan Kalimantan yang selama ini pengalaman saya bus hanya menunggu di terminal saja tidak menjemput penumpang yang harus menunggu di terminal atau di pinggir jalan.
Bus "Gemini" |
Menyusuri jalan yang meninggalkan Bajawa sama seperti sebelumnya, naik turun gunung berkelok-kelok. Kabupaten Ngada memang terkenal dengan Bambunya yang besar-besar, di sepanjang jalan dari sebelum masuk kota Bajawa dari arah Ende sampai ke arah Ruteng banyak terlihat rumpun-rumpun bambu yang besar, maka tak heran banyak rumah yang seluruh bagiannya terbuat dari bambu, dari atap, dinding sampai pintu dan jendelanya. Jadi tampaknya jangan takut jadi tuna wisma di Ngada karena tidak harus tinggal di rumah kardus karena bahan bangunan untuk membuat rumah dari bambu tersedia dengan gratis dan melimpah.
Penumpang cukup penuh ketika bus sudah berangkat, bahkan ada juga Bule dari jerman yang ingin kembali ke Labuan Bajo, saya juga sempat berbincang-bincang dengannya dan di sudah ke Pulau Komodo sebelumnya, yang membuat saya heran adalah tasnya yang lebih kecil dari saya dan belakangan saya tau dia punya ransel sekitar 70 liter lagi yang diletakan di atas atap Bus.
Di samping saya adalah seorang bapak yang menuju kecamatan Cancar, walau kecamatan Cancar hanya lewat sedikit dari kota Ruteng bapak ini lebih memilih untuk naik bus langsung tujuan Labuan Bajo jadi tidak perlu repot-repot berganti bus di Ruteng. Ketika saya tanyakan tentang sawah yang berbentuk laba-laba ternyata itu dekat dengan rumahnya, bahkan bapak yang membawa ayam ini menawarkan saya untuk singgah dirumahnya kalau saya ingin melihat sawah yang unik pembagiannya tersebut, namun karena sudah memutuskan untuk langsung menuju Labuan Bajo akhirnya kesempatan emas ini saya lewatkan.
Bermacam-macam barang masuk ke dalam Bus, bahkan di suatu desa sebelum Ruteng kita singgah agak lama karena ada penumpang yang membawa Babi baik, dan butuh waktu untuk menaikan babi ke atas atap Bus, untungnya tidak dimasukan ke dalam..:-)
Ketika tengah hari Bus berhenti di sebuah warung padang di kota Mborong untuk makan siang. Ah lagi-lagi warung Padang, saya punya firasat yang kurang baik tentang harga. Namun tidak adanya warung makan lain di sekitar dan hanya ada warung Bakso akhirnya saya masuk juga, hanya memesan ikan yang dibakar saya harus membayarnya dengan uang Rp. 15.000, firasat seorang backpacker gembel ternyata terbukti masalah murah dan mahal.
Sawah di Lembor |
Hal menarik lain yang saya perhatikan adalah kernet bus, seperti kenek pada umumnya tugasnya adalah berterika-teriak untuk memberitahukan tujuan atau mengajak penumpang untuk naik, yang unik adalah dia logat dan liriknya, dia tidak berteriak Labuan Bajo Labuan Bajo..,tapi bajobajobajo..e..., Cuma nama Bajo tanpa Labuan di depannya, dan ada akhirnya ‘e” yang panjang yang membuatnya unik, tentunya dengan logat Flores yang khas. Kadang-kadang Bajo-nya sampai 4/5 kali tpi ada juga 1 atau 2 kali ketika mereka capek berteriak, ada dua kenek yang ikut bus ini.
Ketika melalui kota Ruteng yang ternyata sama dinginnya dengan Bajawa, ada yang mengatakan Ruteng lebih dingin ada juga yang mengatakan Bajawa lebih dingin, namun bagi saya tak ada bedanya, sama-sama dingin. Ternyata Ruteng berarti Pohon Beringin dalam bahasa setempat, ini saya diberi tahu oleh Abang Pedi di Pulau Komodo belakangan.
Hijau sejauh mata memandang |
Setelah Ruteng pemandangan mulai berubah, banyak sawah-sawah yang sedang menghijau, begitu juga di kecamatan Cancar ketika bapak di samping saya turun. Dan yang lebih banyak lagi sawah terhampar ketika memasuki daerah Lembor, disepanjang jalan banyak sawah-sawah milik penduduk. Nampaknya daerah NTT yang sering terlihat kelaparan dan miskin bukan di daerah sini, dengan sawah mereka yang segitu banyak mereka pasti bisa memasok untuk daerah Flores.
Ternyata pedagang asongan tidak hanya ada di pulau Jawa, di sini juga ada ketika bus sedang mampir di sebuah pertigaan yang ada sebuah baliho tentang Kampung Waerebo, salah satu kampung tradisional yang ada di flores yang juga sering jadi tujuan wisata, namun harus berjalan kaki untuk mencapainya, itulah yang membuat saya melewatkannya sebagai tujuan saya karena tidak puas kalau hanya sehari di sana. Ketika bus berhenti langsung dikerubungi oleh ibu-ibu yang menjajakan barang yang kebanyakannya buah-buahan.
Namun ketika memasuki kabupaten Manggarai Barat mulai terlihat sawah-sawah yang sudah mengering, di suatu tempat saya lihat banyak orang yang berkumpul dengan Jirigen, entah untuk air atau minyak saya kurang jelas. Jalanan berbukit-bukit kembali dijalani begitu mendekati Labuan Bajo.
Asongan ala Flores |
Ketika matahari mulai terbenam laut sudah terlihat di kejauhan, namun kami belum sampai juga, saya sudah tidak sabar untuk sampai di Kota Labuan Bajo untuk melihat-lihat dan melepaskan penas karena seharian duduk di dalam Bus. Dan akhirnya ketika mulai gelap kita mulai memasuki kota, namun kita terlebih dahulu mengantar penumpang ke rumahnya masing-masing, baru di sini saya melihat bus yang seperti travel mengantar jemput penumpang ke tempatnya masing-masing. Bule jerman teman seperjalanan dari Bajawa pun di antar langsung ke hotelnya, sedangkan saya masih belum tau mau kemana, ketika saya tanyakan kepada kenek apakah terminal dekat dengan pelabuhan ternyata mereka nginap di pelabuhan, karena pelabuhan fery lah yang menjadi patokan saya untuk mencari penginapan murah yang banyak di sekitar situ.
Sesampainya di pelabuhan saya pun turun setelah membayar biaya perjalanan dari Bajawa menuju Labuan Bajo sebesar Rp. 100.000. Sesuai petunjuk dari Blog yang saya baca ada penginapan murah yang bernama Homestay 21, tempat warga pulau komodo biasa menginap. Terus berjalan ke arah kanan pelabuhan saya tidak juga melihat Homestay 21 yang dimaksud hingga sampai di ujung keramaian melewati banyak hotel mewah dan dive centre yang berjejer di pinggir jalan. Akhirnya ketika melihat ada yang menjual soto ayam sayapun memutuskan untuk makan terlebih dahulu kemudian bertanya kepada yang jual dimana letak penginapan tersebut.
Kamar di Losmen Bahagia |
Ternyata saya memang melewatkannya, dan di sana memang rata-rata penginapan murah bertarif Rp. 30.000 per harinya. Dan malangnya 4 penginapan yang saya singgahi semuanya penuh, begitu juga dengan homestay 21 yang ternyata masuk ke dalam gang sempit dan tidak ada papan namanya juga penuh. Sayapun kembali melanjutkan berjalan ke arah pelabuhan Fery tadi dan sebelum mesjid ada lagi penginapan yang bernama Hotel Bahagia dan untungnya masih ada kamar kosong, bahkan masih banyak kamar kosong. Namun ternyata keadaannya tidak seperti namanya alias”tidak membahagiakan” ketika saya ditunjukan kamar di lantai 2, dinding kamar bolong-bolong dan sangat seadanya, mungkin ini yang dimaksud hotel Bahagia oleh Mbak Trinity dalam Naked Traveler.
Karena sudah terlalu lelah untuk mencari sayapun akhirnya menginap di sini dan memikirkan penginapan baru keesokan harinya. Sayapun ingin menyegarkan diri dengan mandi, namun ternyata airnya berasa payau sehingga bagaimanapun saya mandi tetap saja masih terasa lengket. Akhirnya sayapun bisa merebahkan diri untuk sekedar meluruskan badan di atas kasur. Dan segera memulai pertualangan di salah satu kota pariwisata di Indonesia yang mulai berkembang.
0 komentar:
Posting Komentar