Waktu asik-asiknya tidur ada yang mengetuk pintu, ternyata itu adalah ojek yang akan mengantar saya besok dia, dia datang untuk memastikan dan membicarakan masalah harga. Setelah saling nego akhirnya kita sepakat dengan harga Rp. 60.000 untuk ke Danau Kelimutu sekalian dengan ke pemandian air panas dan air terjun serta dia memastikan bebas biaya masuk dan biaya camera,hehe. Namun harga tersebut sebenarnya masih bisa dinego hingga Rp. 40.000-50.000 tergantung kesepakatan.
Kita berjanji untuk berangkat pukul setengah 5 pagi, namun ketika saya bangun sampai pukul 5 pagi dia masihhjuga belum datang, mana saya lupa untuk minta nomor Hp nya. Saya berpikir kalau sampai pukul 6 dia tidak datang juga saya akan berangkan dengan mencari ojek yang lain, namun ternyata pukul 6 kurang sedikit dia datang.
Kita langsung berangkat menembus dinginnya pagi menuju rumah para arwah itu, medan yang harus dilalui adalah punggungan bukit yang teris menanjak dan berkelok-kelok, jaket saya yang tebalpun tetap tertembus oleh dinginnya pagi, di beberapa tempat kami melalui kabut tebat hingga jarak pandang hanya beberapa meter kedepan, diapun bercerita kenapa dia datang agak lambat karena percuma untuk naik pagi-pagi kita juga tidak akan bertemu sunrise karena tertutup kabut tebal seperti sekarang.
Kurang lebih 45 menit kami akhirnya kita sampai di pintu masuk, namun dia tetap terus dan tidak berhenti untuk membeli karcis masuk hingga kita diteriaki oleh yang jaga namun kita tetap terus, membuat saya yang di belakang menjadi deg-degan. Dia bilang “Kalau diaorang ambil kita punya uang, nanti sapunya bapak yang ambil kembali” dengan logat timurnya yang khas, ternyata ayahnya adalah salah satu tetua adat yang berpengaruh di sana.
Tak lama kita sampai juga di parkiran, di sini terlihat sepi, hanya ada satu orang yang sedang duduk di atas motor, mungin ojek yang sedang menunggu tamunya. Selain itu hanya ada dua buah mobil yang sedang terparkir. Tanpa membuang waktu kita segera jalan mengikuti jalur yang telah disemen, di beberapa tempat ada tempat sampah yang tersedia. Sekitar sekitar 15 menit berjalan akhirnya kita sampai juga di Danau Kalimutu, namun kita harus naik ke bibir kawah untuk melihat airnya.
Danau yang pertama kita temui adalah yang berwarna biru muda, bernama Tiwu Ata Polo atau menurut kepercayaan masyarakat sekitar merupakan tempat bersemayamnya arwah orang yang telah meninggaldan selama hidupnya melakukan kejahatan atau tenung, tampak ada beberapa bule yang sedang duduk-duduk beristirahat dan tampaknya mereka rombongan keluarga dari Francis. Kaetika saya datang sekitar danau ini masih berkabut lalu saya memutuskan untuk menuju puncak terlebih dahulu kemudian kembali lagi ke sini.
Jalan untuk menuju punjak sudah lumayah bagus, terdapan dua jalur jalan yang sudah di semen sebelum kita mendaki menggunakan tangga sampai di puncak, di tengan ada sebuah papan yang bertuliskan “Danau Tiwu Nuamuri Koofai” dan merupakan petunjuk tentang keberadaan danaunya yang berwarna hijau di kejauhan.
Terus melangkahkan kaki menuju punjak akhirnya tugu triangulasi dapat kita capai, di sini Cuma ada seorang penjual kopi yang berselimutkan kain khas Flores yang tebal. Akhirnya bisa juga mengapai punjak gunung setelah sebelumnya gagal untuk menapakan kaki di Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa. Puncak Gunung Kelimutu ini sudah dikelola sedemikian rupa oleh pemerintah, di sini dibangun sebuah tugu yang dikelilingi oleh undakan-undakan yang bisa digunakan untuk duduk sambil menunggu sunrise di sini, untuk keamanan tempat ini juga dikelilingi pagar yang terbuat yang terbuat dari besi. Dan ada sebuah prasasti yang berjudulkan “Perubahan Alam, Kepercayaan abadi”.
Dan di dalamnya berisi tulisan “Masyarakat percaya bahwa jiwa/arwah akan datang ke Kelimutu setelah seseorang meninggal dunia, jiwanya meniggalkan kampungnya dan tinggal di Kelimutu untuk selama-lamanya. Sebelum masuk ke dalam salah satu danau atau kawah, para arwah tersebut terlebih dahulu menghadap Konde Ratu selaku penjaga pintu masuk di Perekonde. Arwah tersebut masuk ke salah satu danau/kawah yang ada tergantung usia dan perbuatannya. Ketiga danau atau kawah seolah-olah bagaikan dicat berwarna. Warna airnya berubah-ubah tanpa tanda alami sebelumnya. Mineral yang terlarut dalam air menyebebkan warna air tidak dapat diduga sebelumnya. Suasana Kelimutu berfarisai, tidak hanya perbedaan dan perubahan warna danau, akan tetapi juga karena cuaca. Tidak aneh jika tempat yang keramat ini menjadi legenda yang sejak lama berlangsung turun temurun. Masyarakat setempat percaya bahwa tempat ini sakral. Hormatilah tempat khusus ini dengan tidak merusak atau mengotori dan tetaplah di jalan setapak yang ditentukan.
Dari puncak ini kita juga bisa melihat danau atau kawahnya yang berwarna itam ketika saya datang kesana, masyarakat juga percaya bahwa di dalam kawah yang bernama “Tiwu ata Mbupu” inilah bersemayam atau berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal. Danau ini terlihat cantik dengan dinding tebingnya yang curam yang berwarna putih serta pohon-pohon cemara yang berwarna hijau sungguh kontras dengan airnya yang berwarna hitam.
Di puncak ini saya duduk menikmati keindahan Danau tiga warna yang ada dalam uang kertas kita dahulu sambil berbincang-bincang dengan teman sekaligus ojek dan guide saya, ternyata dia sudah lulus SMA dan juga ingin melanjutkan kuliah dengan jurusan Olahraga. Sambil ditemani oleh kofi Flores untuk membantu menghangatkan badan. Kemudian ada empat orang yang datang dan mereka warga lokal dari Ende yang kebetulan lewat dan singgah di sini, bahkan mereka sampai membawa helmnya sampai ke puncak, kayaknya disini juga ada razia helm..:-)
Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh orang lio Van Such Telen, warga negara Bapak Belanda Mama Lio , tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Tak lupa saya juga untuk berfoto sebagai kenang-kenangan, namun karena cuma membawa lensa fix saya tidak bisa mengabadikan kebeluruhan danau, namun saya mengakalinya dengan membuat foto fanorama kemudian saya berencana untuk menggabungnya setelah tiba kembali di rumah. Setelah puas saja kembali turun untuk kembali ke danau yang pertama tadi, namun ternyata masih saja ada kabut yang menghalangi. Akhirnya saya lihat-lihat sebentar kemudian kembali turun untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya yaitu pemandian air panas dan air terjun yang akan kita lalui dalam perjalanan pulang.
Menuruni gunung pun butuh tekhnik khusus, bagi motor yang masih prima dan remnya masih mencengkram dengan kuat sebenarnya mesin bisa dimatikan untuk menghemat bensin, namun kerena motor yang kami gunakan sudah butut jadi kita tetap menghidupkan motor tapi porsneling tetap berada di gigi yang rendah sehingga motor berjalan lambat walaupun suaranya kurang enak didengar.
Di pertengahan jalan kita berhenti di sebuah desa, dan di situ Cuma ada sebuah gapura sederhana “Welcome to WISATA AE PETU, Liesembe, Moni” dan Cuma ini satu satunya penunjuk jalan untuk menuju Pemandian air panas ini, kita turun melalui samping rumah warga yang kebanyakannya berdinding bambu, jalannya tampak di halangi dengan kayu sehingga kita harus sedikit memutar, mungkin kalau musim rame akan dipungut biaya masuk.
Ternyata pemandian air panas ini hanyalah dua buah kolam dari keramik dengan diameter sekitar lima meter, di sampingnya ada tempat untuk mengganti pakaian. Air panasnya tampak mengalir dari sebuah pancuran yang ketika saya coba untuk menyentuhnya ternyata panas juga, sebenernya sanagat menggoda untuk berendam di air yang hangat pada suasana yang dingin seperti ini, namun saya hanya merendam kaki saya saja ke dalam kolam. Tampak beberapa anak kecil yang sedang mandi dan bermain bahkan mereka juga sangat antusias ketika saya ajak untuk foto-foto.
Selesai dari pemandian air panas kita kembali melanjutkan perjalanan pulang, di sepanjang jalan banyak yang bisa kita nikmati, dari hamparan sawah yang menghijau, tampak beberapa pemujaan di bawah pohon, sampai desa moni dari ketinggian hingga kadang-kadang saya mengajaknya untuk berhenti sekedar menikmati keagungan ciptaan tuhan maupun diselingi dengan sedikit jepret-jepret.
Tujuan kita selanjutnya adalah air terjun, namun air terjun ini tidak jauh dari desa moni, bahkan sudah masuk daerah Koanara. Namun sayangnya air terjun yang lumayan ini tidak ada sama sekali petunjuk atau tulisan bahwa di situ ada air terjun yang bisa dinikmati. Namun Cafe Rainbow yang ada tepat diseberang jalannya bisa untuk dijadikan patokan. Cafe ini berwarna kuning dengan dinding artistik yang tebuat dari bambu, sedangkan nama cafenya tepat berada di seberang di jalan masuk untuk menuju air terjun.
Bersambung....
0 komentar:
Posting Komentar