Loksado adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang beribukota Kandangan, Loksado merupakan salah satu kawasan wisata andalan yang harus anda kunjungi di Provinsi Kalimantan Selatan.
Perjalanan kali ini dalam rangka menemani dua orang teman dari Slovakia yang lagi berkunjung ke Kalimantan Selatan. Berawal dari sebuah email yang baru baru saya baca di pagi hari, ternyata mereka ada sebuah pesan dari sebuah situs tempat berkumpulnya para backpacker dunia yaitu Couchsurfing.org yang intinya mereka akan mengunjungi Kalimantan Selatan dan belum ada rencana apa yang akan dikerjakan.
Mereka datang pada hari minggu sore dan malamnya kita langsung bawa mengelilingi kota Banjarmasin serta kumpul-kumpul dengan beberapa penggemar traveling kota Banjarmasin. Akhinya mereka merencakan besok pagi mengunjungi Pasar Terapung yang ada di Lok Baintan kemudian dilanjutkan ke Loksado.
Berangkat dari kota Banjarmasin sekitar pukul 2 siang menggunakan angkutan umum yang disebut dengan Taksi Kol oleh masyarakat Banjar, yaitu angkot sejenis elf atau mobil L300 denga tarif Rp. 30.000 menuju kota Kandangan. Tiba di kota Kandangan sekitar pukul 6.30 tentunya tidak ada lagi angkot menuju Loksado karena hanya sampai tengah hari ada angkot berangkat menuju Loksado, jadi kita harus naik ojek namun dengan harga jauh lebih mahal tapi ini adalah satu-satunya cara, walaupun ada yang menawarkan untuk menyewa mobil namun harga yang ditawarkan sangat mahal sehingga kita memilih untuk naik ojek saja. Keluar dari terminal akhirnya kita menemukan ojek yang mau mengantarkan kita ke Loksado walau harus menunggu dia mencari temannya.
Perjalanan menuju Loksado dengan Ojek memiliki sensasi tersendiri, menikmati aroma pegunungan yang sejuk dengan jalan yang naik turun serta penuh dengan tikungan tajam. Brano dan Viktor sangat menikmatinya karena ojek yang membawa mereka dengan ngebut merupakan hal yang tidak pernah mereka alami di negara asalnya, namun berbeda dengan saya karena ojek yang membawa saya nampaknya masih belum menguasai medan serta belum terbiasa sehingga beberapa kali tidak bisa naik dan saya harus turun dari motor ketika di tanjakan yang cukup terjal.
Kami tiba di loksado di malam hari dan langsung menuju Wisma Alya yang sudah saya pesan sebelumnya, kita segera beristirahat dan bersih-bersih, pada awalnya saya tidak berniat untuk mandi namun karena dipanas-panasi sayang mandi juga walau harus menahan dinginnya air pegunungan di malam hari. Perut yang lapar membuat kami ingat bahwa hari ini kami Cuma makan satu kali ketika pulang dari pasar terapung di pagi harinya, ternyata beberapa warung sudah tutup dan untungnya masih ada satu yang buka warung nasi goreng, kebetulan sekali mereka suka Nasi Goreng, menurut mereka nasi goreng di Indonesia mempunyai rasa yang unik dan satu warung dan warung yang lain mempunyai rasa yang berbeda.
Malam yang dingin membuat kita segera merindukan kasur, disamping juga harus menyiapkan fisik untuk pertualangan besok harinya. Musik alam mengiringi tidur kami, suara derasnya aliran sungai di belakang penginapan merupakan suatu hal yang tidah bisa kita alami ketika di kota. Derasnya hujan yang beberapa kali turun membuat saya terbangun berkali-kali, namun hangatnya sleping bag saya sangan membantu di malam itu.
Pukul 6.00 pagi saya terbangun oleh alarm yang saya pasang sebelumnya, namun dinginnya pagi serta melihat teman disamping masih ngorok saya lanjutkan lagi tidur saya. Namun tak lama kemudian saya segera bangkit karena saya pikir rugi kalau melewatkan pagi yang fresh di pegunungan. Setelah mandi sambil menunggu teman yang dua orang bangun saya mengisi perut di warung dengan segelas Teh hangat dan sepotong kue...mmm benar-benar nikmat.
Tujuan kami yang pertama adalah desa Malaris yang bisa dicapai dengan trekking sekitar 20 menit dari desa Loksado, di sini ada sebuah Balai Adat suku dayak yang terbesar di Kaliamantan Selatan dan baru dibangun kembali pada 3 tahun lalu dan menelan biaya sekitar 2 Milyar Rupiah, demikian menurut seorang menduduk yang saya temui di sana. Setelah puas mengelilingi dan foto-foto di dalam Balai kita melanjukan perjalanan ke desa Malaris dan langsung menuju Pusat Informasi yang ada di sana untuk membuat gelang Simpai, yaitu gelang yang langsung di anyam di tangan dengan bahan rotan atau tembuhan yang disebut Langam. Sebenarnya di sekitar desa Malaris masih ada objek lain yang bisa dikunjungi yaitu Air terjun dan Bendungan Malaris, tapi karena keterbatasan waktu kita segera melanjutkan trekking ke air terjun Haratai yang memakan waktu sekitar 2,5 jam.
Untuk menuju Haratai sebenarnya bisa langsung dari desa Malaris namun kalau belum pernah harus ditemani oleh Guide karena melewati hutan dan membelah gunung dengan jalur yang lebih ekstrim, selain itu kita bisa melalui jalan yang cukup nyaman bahkan bagi anda yang tidak punya waktu untuk trekking bisa menuju air terjun dengan ojek. Sebelumnya kita harus kembali menuju desa Loksado dan kembali menyeberang di jembatan yang kedua.
Dalam perjalanan trekking menuju air terjun Haratai banyak hal yang kita bisa nikmati, dari perkampungan dayak kebun-kebun penduduk dan yang pastinya suasana pegunungan serta hutan yang masih alami. Di beberapa tempat telah dibangun kursi tempat istirahat yang terbuat dari besi yang tampaknya disponsori oleh Bandara Syamsuddin Noor, hal ini dapat dilihat dari tulisan yang ada. Sebelum sampai ke air terjun kita melewati beberapa jembatan gantung yang bisa dijadikan tempat untuk foto-foto yang bagus karena melintasi sungai yang deras di bawahnya. Dan yang harus diingat ketika di persimpangan kita harus mengambil ke arah kanan kalau tidak ingin tersesat karena tidak adanya petunjuk arah di sepanjang jalan.
Sebelum tiba di air terjun kita melewati jalan tanah yang cukup licin ketika habis hujan, bahkan teman saya Brano hampir terpeleset ketika di jalan menurun yang cukup curam. Sebuah jembatan Gantung menjadi pertanda tibanya kita di kawasan air terjun Haratai dilanjutkan dengan pintu gerbang dengan jalan yang sudah di semen namun licin karena berlumut.
Gemuruh air terjun membuat kami makin bersemangat untuk melangkahkan kaki, namun perasaan saya lagi-lagi terganjal melihat rusaknya fasilitas umum yanga ada di sana, apalagi dengan coretan-coretan yang melekat di bangunan maupun bebatuan, kebiasaan yang mungkin membuat mereka bangga sehingga dengan mencoret-coret menjadi bukti bahwa mereka pernah ada di sana, namun saya hanya bisa berdoa mudah-mudahan mereka sadar bahwa itu perilaku yang merusak keindahan serta kelestarian alam sekitar sehingga mereka benar-benar menjadi sahabat alam yang peduli akan masa depan.
Suasana lembab sangat terasa begitu mendekati air terjun, percikan air dari air terjun setinggi kurang lebih 15 meter membuat lumut tumbuh subur di sekitar bebatuan yang ada, di tambah lagi semalam hujan sehingga menambah debit air yang jatuh. Sehingga disarankan untuk membawa drybag atau kantong plastik untuk melindungi barang bawaan anda agar tidak basah, berdiri sepuluh menit saja di dekat air terjun cukup untuk membuat basah seluruh tubuh anda.
Aktifitas lain yang bisa dilakukan di tempat ini adalah mandi di bawah air terjun, namun harus hati-hati kerena derasnya air yang turun. Selain itu bagi yang tidak angin mandi atau lagi malas untuk berbasah-basah ria seperti kita sekarang, kita bisa duduk-duduk santai di atas batu yang besar-besar di sekitar air terjun sambil foto-foto bernarsis ria.
Serasa cukup kita segera kembali pulang karena pertualangan yang lain masih menunggu, namun belum lama kita meniggalkan air terjun terjadi insiden yaitu terpelesetnya viktor di atas jalan yang licin, namun yang sangat di sayangkan bukan jatuhnya tapi camera pocketnya yang pecah karena di pegang di tangan dan tangan itulah yang dipakai untuk menahan jatuhnya badan victor yang tinggi sehingga camera itu harus beradu dengan kerasnya semen. Untungnya camera masih bisa berfungsi walau dengan layar yang pecah.
Perjalanan dengan jalan kaki selama dua setengah jam kembali kami jalani, hanya dengan sekali beristihat akhirnya kita akhirnya kembali tiba ke desa Loksado. Perut yang kelaparan karena hanya terisi segelas teh dan sepotong kue menjadikan warung makan adalah tujuan pertama kami sebelum kembali ke penginapan. Sebenarnya saya ingin memperkenalkan sayur asem kepada mereka, namun ketika sampai di warung yang di maksud ternyata nasinya belum masak sehingga kita mencari warung yang lain untuk makan.
Pertualangan kita selanjutnya adalah Balanting Paring atau yang lebih dikenal dengan Bamboo rafting, menyusuri jeram-jeram di sungai amandit menggunakan rakit yang terbuat dari bambu. Ya..bamboo rafting merupakan ciri khas Loksado, belum lengkap rasanya bila mengunjungi Loksado apabila tidak menaiki bamboo rafting yang hanya ada di sini, hanya dengan Rp. 200.000 per rakit sudah bisa untuk 2-3 orang penumpang tergantung dengan visibility air sungai, di tambah joki yang mengendalikan jadinya 4 orang .
Sepanjang jalan ketika menyusuri sungai amandit kita melalui beberapa jeram yang lumayan membuat hati deg-degan, namun jangan khawatir rakit tidak akan terbalik atau karam, kerena keamanan terjamin walau tanpa harus memakai life jaket, Cuma baju siap-siap basah terkena percikan air sungai, jadi sebaiknya camera atau barang bawaan harus dibungkut dengan kantong anti air sebelum berangkat. Atraksi joki yang kadang-kadang melompat ketika mengendalikan rakit juga merupakan suatu hiburan tersendiri bagi para penumpang. Di tempat yang berarus tenang kita bisa terjun sambil berenang menikmati dinginnya sungai amandit.
Pemandangan yang dapat kita nikmatipun beragam, seperti aktifitas warga suku dayak meratus di tepi sungai seperti mandi maupun mencuci, bahkan ada juga penduduk yang memancing di pinggir sungai. Mereka semua ramah-ramah, senyum selalu mereka berikan kepada kita yang lewat, bahkan terkadang mereka juga melambaikan tangan sehingga 2 orang teman saya yang berasal dari Slovakia ini sangat terkesan dengan keramahan ini. Di beberapa tempat kita bisa melihat ladang penduduk di atas bukit dengan kemiringan melebihi 45 derajat, teman saya bruno mengatakan bahwa merka menanamnya pasti menggunakan tangga dan hampir tidak percaya ketika saya jelaskan bahwa itu tidak memerlukan tangga, hanya perlu dengan tehnik khusus, bahkan yang lebih unik lagi padi yang ada di atas bukit tersebit terbagi dua, separoh padinya masih berwarna hijau sedangkan bagian lainya sudah berwarna kuning.
Setelah selama 3 jam mengarungi sungai amandit akhirnya kita tiba di desa Tanuhi dan itu artinya pertualangan dengan bamboo rafting kita segera berakhir. Hari yang sudah sore membuat kita langsung menuju mobil yang telah menunggu untuk kembali kota Kandangan untung melanjutkan perjalanan mereka ke Kalimantan Timur. Di perjalanan tiba-tiba hujan turun sangat lebat, untunglah kita pulang tidak dengan ojek, kalau tidak bisa diayangkan kita akan basah kuyup.
Kita tiba di kota kandangan ketika azan Magrib telah berkumandang, kita segera menuju terminal kota untuk mengunggu bus, namun di sini kita berpisah karena mereka tidak kembali ke Banjarmasin lagi namun langgsung ke Balikpapan dengan Bus yang akan kita cegat di sini dan karena badan yang capek seharian bertualang saya memutuskan untuk kembali ke Banjarmasin malam itu juga walaupun ada bnyak tempat untuk menginap di kota Kandangan.
Selamat jalan kawan, mudah-mudaha Kalimantan Selatan berkesan di hati kalian dan suatu hari nanti kembali berkunjung ke sini. Atau mungkin saya yang akan ke negara Kalian...keliling eropa..:-)
0 komentar:
Posting Komentar