Tourism Alternative

Tanjung Puting National Park, The Last Kingdom of Orangutan

http://tourismalternative.blogspot.com/2013/06/tanjung-puting-national-park-last.html

Dengan badannya besar,  badan yang penuh bulu, ditambah dengan wajahnya yang bergelambir membuatnya di takuti oleh setiap laki-laki dewasa yang berada di sekitarnya, bahkan memasuki daerah kekuasaannya pun membuat yang lain harus berfikir dua kali untuk melakukannya.  Tom, demikian dia biasa dipanggil, nama yang singkat, namun nama ini sudah terkenal sampai Mancanegara, entah sudah berapa kali ia diliput oleh media cetak maupun media elektronik karena kegagahannya.
Tidak mudah baginya menjadi penguasa di daerah ini, dia harus merebut kekuasaan dari penguasa terdahulu, Kosasih. Walaupun bisa dibilang tidak adil karena dia menantang Kosasih yang memang sudah luka-luka karena memenangkan pertarungan sebelumnya dengan orang lain.
Tom
Dan akhirnya tentu saja pertarungan ini dimenangkan oleh Tom, walau tubuhnya penuh luka kemenangannya membuat dia menjadi penguasa sah selanjutnya daerah ini. Sejak kejadian itu tak ada seorangpun yang melihat Kosasih, entah dia meninggal atau kabur ke dalam hutan yang lebat tak ada seorang pun yang tau.
Kisah tersebut bukanlah legenda, namun kejadian nyata di suatu daerah di Kalimantan Tengah bernama Camp Lakey. Ya, kedua orang yang kita bicarakan tadi adalah Orangutan, penghuni Taman Nasional Tanjung Puting yang berada di Kabupaten Kotawaringin Barat dengan ibu kota Pangkalan Bun.
Sebagai warga asli Kalimantan Tengah malu rasanya saya ketika belum mengunjungi tempat wisata yang sudah  terkenal ke mancanegara di provinsi ini, akhirnya Maret lalu dengan modal kenekatan saya berhasil mengunjungi Taman Nasional Tanjung Puting.
Sungai berair hitam yang banyak buaya
Jauh memang jarak yang ditempuh dari tempat tinggal saya di Puruk Cahu untuk menuju ke sana, setelah perjalanan 12 jam dengan  menggunakan mobil travel plat hitam menuju Palangkaya, menginap satu malam, kemudian besok paginya perjalanan dilanjutkan lagi selama 11 jam  dengan menggunakan bus menuju Pangkalan Bun. Untungnya di Pangkalan Bun sudah ada teman semasa kuliah yang bisa dihubungi sehingga tidak perlu memikirkan untuk tinggal dimana dan bagiamana disana.
Dari informasi yang saya dapatkan dari berbagai sumber semuanya sampai pada kesimpulan yang sama, bahwa untuk mengunjungi Taman Tanjung Puting haruslah dengan menggunakan Kapal, atau yang disebut dengan Kelotok di Kalimantan.  Dan tentunya tidak cocok untuk kantong seorang backpacker penggemar liburan gratis dan murah seperti saya, apalagi dengan menyewa kapal yang harganya jutaan dengan seorang diri.

Perpustakaan mini dalam kelotok
Akhirnya dengan modal tekad dan nekad sayapun menuju Pelabuhan Kumai, setelah Tanya sana-sini dan melakukan pendekatan ala backpacker akhirnya saya berhasil mendapatkan kapal grtatis untuk memasuki kawasan taman nasional. Itupun hanya sampai Camp Pondok Tanggui, selanjutnya biarlah takdir kemana kan membawa diriku.
Untuk memasuki kawasan Taman Nasional yang mempunyai luas 415.040 ha, yang terdiri atas Suaka Margasatwa Tanjung Puting seluas 300.040 ha, hutan produksi seluas 90.000 ha (eks. HPH PT Hesubazah), dan kawasan perairan seluas 25.000 ha, kita terlebih dahulu membeli tiket masuk sebesar Rp.15.000 untuk wisatawan domestik dan Rp. 150.000 untuk wisatawan asing.
Ada beberapa stasiun yang biasanya menjadi tempat persinggahan oleh wisatawan, dan yang pertama yang akan kita singgahi setelah perjalanan selama kurang lebih satu setengah jam menyusuri sungai Sekoyer adalah  Camp Tanjung Harapan.
Sesampainya di camp yang tak jauh dari desa dengan nama yang sama, kita langsung merapatkan kapal di dermaga dan kemudian menunjukan tiket masuk di pos pejagaan. Untuk dapat melihat Orangutan secara langsung kita akan menuju tempat feeding, disinilah biasanya Orangutan akan berkumpul pada saat jam feeding atau pembagian makanan gratis oleh para ranger.
Orangutan di tempat feeding
Para Orangutan ini diberikan makanan berupa buah-buahan seperti pisang, ubi, jeruk bali dan lain-lain setiap harinya pada jam yang sama oleh para ranger, karena Orangutan yang berada disini masih semi liar. Semakin lama mereka akan semakin jarang datang ke tempat feeding, dan ketika mereka tidak pernah datang lagi ke tempat ini artinya mereka sudah siap untuk bertahan hidup di alam liar.
Takjub, itulah yang saya rasakan ketika melihat tingkah mereka di alamnya langsung, tingkah mereka mirip seperti manusia karena memang Orangutan memiliki DNA  97 % sama seperti manusia. Wajah merekapun tidak ada yang sama dan setiap Orangutan mempunyai nama yang berbeda, hanya para ranger dan sebagian guide yang hapal nama mereka satu persatu.
Setelah puas bertemu dan melihat Orangutan di Camp Tanjung Harapan kita kembali melanjutkan perjalanan dengan Kelotok. Ya, angkutan yang biasanya dipakai ketika mengarungi TNTP memang dengan Kelotok, sebuah kapal yang dijadikan sebagai tempat tinggal oleh para wisatan selama berada disini.
Kita tidur, makan, dan melakukan aktifitas lainnya di atas kapal kecil ini, jangan khawatir dengan fasilitasnya, setiap Kelotok biasanya menyediakan kasur beserta kelambunya untuk kita tidur dimalam hari, menu makan prasmanan yang disediakan oleh para koki handal, dan tentunya yang tak kalah penting adalah fasilitas MCK yang sudah standar internasional, dengan toilet jongkok dan shower.
Kelotok di Tanjung Puting
Di hari kedua kita melanjutkan ke Camp Pondok Tangggui dengan menumpang kapal rombongan lain karena kapal kita sedang rusak dan diperbaiki, rencananya kita akan menunggu di sana sampai kapal selesai diperbaiki.
Walau agak terlambat untuk jam feeding kita tetap trekking menuju lokasi berkumpulnya Orangutan, dari informasi beberapa wisatawan yang berpapasan dengan kita, ternyata katanya hanya ada dua Orangutan di sana. Namun ketika kami hendak kembali datang lagi satu Orangutan sehingga kita bertahan lebih lama di tempat itu.
Selain Orangutan ada juga hal lain yang bisa dilihat disini, seperti tak jauh dari lokasi Feeding kita akan menemukan sekumpulan Kantong Semar, keunikan tumbuhan dengan nama latin  Neperthes Ampullaria ini adalah bentuknya yang seperti kantong berisi air dengan tutup kecil diatasnya. Kita juga bisa menemukan dengan mudah flora ini di sepanjang jalan pulang ke dermaga.
Berjam-jam menunggu di dermaga kelotok kami belum juga datang, Pak Satri menawarkan untuk mengantarkan kami ke Camp Lakey dengan kelotok kecilnya. Setelah bermusyawarah dengan para tamu ahkirnya kita kembali melanjutkan perjalan dengan kelotok yang lebih kecil, hanya bisa untuk duduk berjejer kebelakang persatu orang.
Siswi bermalas-malasan
Kedatangan kami di Camp Lakey disambut oleh Siswi, Orangutan betina paling usil yang sedang malas-malasan di atas dermaga . Tak lama setelah kami berangkat kabarnya satu tas camera wisatawan menjadi korbannya, bahkan satu lensa sampai dimasukan ke mulutnya dan dibawa naik ke atas pohon, untungnya ada yang berhasil untuk membujuknya untuk mengembalikan barang-barang tersebut.
Camp Lakey merupakan pusat penelitian Orangutan yang didirikan oleh Dr. Birute Galdikas dan Rod Brindamour pada tahun 1971, dinamakan dari nama guru mereka Louis Lakey. Tempat ini tak hanya sebagai pusat penelitian, tapi juga sebagai pusat rehabilitasi Orangutan, bahkan menjadi yang pertama di Kalimantan.
Di sinilah juga kami akhirnya bertemu dengan Tom, sang penguasa Camp Lakey. Ketika dia mendekat ke tempat feeding untuk mengambil makanan yang diletakan semua Orangutan yang ada di situ menjauh, bahkan dua ekor babi hutan yang berada di bawah juga lari begitu melihat dia datang.
Tak hanya Tom, ada juga beberapa orangutan yang kita disini, salah satunya yang menarik perhatian kita adalah sorang ibu Orangutan yang sedang mengajari anaknya. Bagaimana dia menekuk batang kayu untuk anaknya belajar bergantungan, mengajarinya untuk berkelahi, dan hal lainnya sangatlah menarik, mengingat binatang ini mempunyai DNA yang hampir mirip dengan manusia.
Mom and kiddy
Orangutan Kalimantan mempunyai bulu kemerah-merahan gelap dan tidak memiliki ekor. Sejalan dengan pertumbuhan usianya, jantan dewasa mengembangkan pipinya hingga membentuk bantalan. Semakin tua, bantalan pipinya semakin besar sehingga wajahnya terkesan seram.
Di Camp ini jugalah seorang wisatawan asing yang nekad untuk berenang ke sungainya yang berwarna hitam dan tak menyadari di balik semak-semak sepasang mata buaya telah mengintainya. Higga beberapa hari kemudian jasadnya ditemukan akar-akar pohon bakau di sekitar tempatnya menceburkan diri. Sejak itulah peraturan dibuat semakin ketat di Taman Nasional ini untuk melindungi para wisatawan.
Tak banyak masyarakat Indonesia yang mengenal tempat ini, hanya kalangan tertentu saja yang mengetahuinya. Walau begitu Taman Nasional ini sudah mendunia, ribuan wisatawan mancanegara yang mengunjungi tempat ini, menurut data yang saya dapat dari pihak taman nasional pada tahun 2012 lalu 7.617 wisatawan mancanegara yang mengunjungi tempat ini, bagaimana dengan wisatawan lokal? Hanya 4.401 orang, perbedaan yang  sangat  jauh bukan?
Dermaga tempat turis di makan buaya
Di sinilah saya harus berpisah dengan teman perjalanan saya selama dua hari ini, mereka masih melanjutkan perjalanannya di Tanjung Puting sampai 3 hari kedepan, sedangkan saya besok hari harus kembali ke Pangkalan Bun. Saya sendiri kembali bersama Pak Satri ke Pondok Tanggui dan merasakan bagaimana menginap di camp para ranger dengan Orangutan yang berkeliaran disekitar rumah.
Besok harinya saya tidak jadi ikut speedboat yang sering lewat dari hulu sungai karena diajak oleh seorang guide untuk ikut di kapalnya untuk kembali ke Kumai. Setelah kembali menginap selama satu malam di rumah teman saya besok harinya saya kembali melanjutkan perjalanan ke Surabaya melalui Bandara Iskandar Pangkalan Bun.
Note:
-          Untuk menuju Tanjung Puting kita bisa terlebih dahulu menuju Kota Pangkalan Bun, bisa dicapai dari kota-kota besar di Pulau Jawa dengan tarif sekali penerbangan berkisar dari Rp. 500.000 sampai 1 jutaan tergantung musim. Atau untuk lebih murah bisa menuju Palangkaraya atau Banjarmasin baru dilanjutkan menuju Pangkalan Bun dengan menggunakan Bus.
-          Untuk tempat menginap sebelum dan sesudah dari Taman Nasional Tanjung Puting banyak tersedia di Pangkalan Bun dan Kumai, untuk memudahkan bisa juga dengan situs pencarian hotel seperti Raja Kamar, banyak hotel murah bisa ditemukan disini. Kali aja beruntung dapat promo hotel 88rb yang lagi diadakan oleh website tersebut.
-          Tarif sewa kapal (Kelotok) tergantung dengan besarnya kapal dan lamanya perjalanan ke dalam kawasan Taman Nasional dari Rp. 600.000 sampai Rp. 2.000.000 per hari, ada juga yang menyewakan dengan paket perorang RP. 450.000 untuk tiga hari untuk minimal 5 orang.
-          Setiap wisatawan yang memasuki kawasan TNTP dikenakan tarif masuk, untuk wisatawan lokal 15 ribu per hari, camera 5 ribu, handycam 15 ribu, tiket kelotok 50 ribu per kelotok serta parker kelotok per hari 10 ribu. Sedangkan untuk wisatawan mancanegara 150 ribu per hari, camera 50 ribu, handycam 150 ribu, tiket kelotok 50 ribu per kelotok serta parkir kelotok per hari 10 ribu.
Happy Responsible Travel!
Indra Setiawan (Follow @bpborneo)

  

0 komentar:

Posting Komentar

Support by: Informasi Gadget Terbaru - Dewa Chord Gitar | Lirik Lagu - Kebyar Info
Copyright © 2014 Tourism Alternative Design by SHUKAKU4RT - All Rights Reserved