Bandara Sultan Hasanuddin termasuk lapangan udara yang terbagus di Indonesia, 24 jam selalu ada penerbangan sehingga tak begitu sulit untuk tidur di Bandara. Setelah sebelumnya tidur di Musholla yang sebenarnya terlarang untuk tidur pukul 1 saya ke counter check in dan melanjutkan mimpi di kursi ruang tunggu keberangkatan, dan untungya ibu diseberang saya mengetahui tujuan keberangkatan saya karena ketika dipanggil untuk masuk pesawat saya tidak mendengarnya, alhasil sayapun menjadi penumpang terakhir yang masuk pesawat dan diantar khusus menggunakan kijang petugas bandara menuju pesawat.
Dari Makassar saya tidak terbang langsung menuju Sorong, namun harus terlebih dahulu transit di Manado. Ternyata Bandara Sam Ratulangi tidaklah begitu besar, untuk ukuran bandara yang lebih sering didatangi turis mancanegara. Namun pemandangan di sekitar Bandara cukup indah, di kejauhan tampak sebuah gunung yang berdiri dengan gagah, ketika pesawat mulai take off baru kelihatan bahwa tempati ini dikelilingi oleh banyaknya pohon kelapa, jalan-jalan yang mebelah gunung juga tampak elok.
Total 4 Bandara yang harus saya lalui untuk menuju Provinsi Papua Barat ini, dan pukul 7 Pagi akhirnya saya mendarat di Bandara Domine Eduard Osok Sorong, bandaranya tak terlalu besar bahkan bisa dibilang kecil karena di landasan masyarakat masih bebas masuk dan menjadi jalan pintas.
Dari bandara saya menuju pelabuhan rakyat untuk kemudian menyebrang ke Waisai, Ibu kota Kabupaten Raja Ampat. Ada dua pilihan yang bisa kita gunakan untuk menuju Waisai, yang pertama dengan kapal cepat dengan waktu tempuh sekitar 1,5 sampai 2 jam dengan biaya Rp. 120.000, yang kedua dengan kapal Fery yang memakan waktu 3-5 jam diatas laut dengan biya tiket 100.000, hanya selisih Rp. 20.000 dan saya memilih dengan kapal cepat karena pertimbangan masih harus mencari penginapan di Waisai.
Di kapal tak saya sia-siakan untuk mencari kenalan, pertama saya ngobrol dengan sorang laki-laki yang bersama dengan perempuan bule yang awalnya saya kita juga wisatawan, ternyata pasangan suami istri ini bekerja di Waisai. Kemudian ada juga rombongan keluarga dari Jakarta yang kemudian ternyata juga ingin berwisata di Raja ampat, akhirnya saya tukaran nomor dengan salah satu ibu berharap untuk bersama-sama untuk menyewa kapal khususnya ke Wayag.
Anak Papua |
Di dermaga Waisai yang baru dibangun telah banyak orang yang menunggu, baik itu menunggu kaluarga ataupun yang tak ketinggalan tukang ojek, karena harus mencari penginapan sayapun ikut seorang bapak tukang ojek yang bernama Pak Alwi, beliau sangat ramah dan mengantarkan saya berkeliling untuk mencari penginapan yang murah, dan akhirnya pilihan saya jatuh kepada penginapan Marannu, dengan tarif Rp. 170.000 permalam sudah termasuk murah untuk ukuran Raja Ampat, kamarnyapun cukup luas walau dengan kamar mandi diluar, toh hal itu tak begitu menjadi mesalah bagi saya.
Di penginapan saya dapat kenalan orang Toraja yang ingin menurus mutasi PNS ke Raja ampat, alasannya cukup sederhana karena dia suka laut. Akhirnya kitapun menjadi teman dan sorenya manikmati pantai Waisai Tercinta atau yang disingkat WTC, santai-santai di dermaga kita juga sempat ngobrol-ngobrol dengan rombongan perantauan yang dari logatnya kita tau mereka berasa dari Medan, ternyata mereka ingin memancing ke Pulau Saonek Monde, kitapun diajak walaupun walanya kita masih ragu-ragu dan akhirnya kita iyakan juga.
Kita balik ke penginapan untuk mengambil jaket dan membeli sedikit perbekalan, sambil menunggu teman mereka yang menjemput kita mincing di dermaga dan hasilnya beberapa ekor cumi-cumi menjadi korban.
Di depan Kapal |
Kita balik ke penginapan untuk mengambil jaket dan membeli sedikit perbekalan, sambil menunggu teman mereka yang menjemput kita mincing di dermaga dan hasilnya beberapa ekor cumi-cumi menjadi korban.
Namun sampai pukul 8 malam jemputan tak kunjung datang sedangkan perut sudah keroncongan dan kitapun memutuskan untuk pulang, sedangkan mereka tetap bersantai di pelabuhan karena semua berfikir acara mancing malam itu sudah pasti batal. Namun belakangan ketika bertemu lagi ternyata mereka tetap barangkat pukul 11 malam dan tak bisa menghubungi kami karena mereka tidak bawa HP.
Ikan Kerapu merah bakar menjadi menu makan malam ini, walaupun harganya tidak murah namun saya cukup puas. Setelah makan saya sempat ngobrol dengan msayakat local yang punya penyewaan monil, dan minta dihubungi kalau ada yang ingin ke wayag biar bisa sharing ost, itung-itung masang jaring buat destinasi super mahal tersebut.
Ikonnya Kota Waisai |
Pagi pertama di waisai disambut oleh mendung yang menggantung dilangit, tak ada harapan untuk menyaksikan sunrise. Ternyata Kota Waisai tidaklah begitu luas, jalan kaki ujung ke ujung paling memakan waktu sekitar setengah jam lebih. Begitu pula rumah-rumahnya masih sangat jarang karena Kabupaten Raja Ampat memang masih muda, baru berusia 9 tahun sejak dimekarkan. Asalnya ibukota Raja Ampat berada di Pulau Saonek, namun karena pulaunya tidak terlalu luas akhirnya ibu kota Kabupaten dipindahkan ke Waisai di Pulau Waigeo.
Sambil mencari sarapan saya menyusuri jalanan Waisai yang masih mulus, sebagian masih berupa semen yang dicor belum beraspal. Hanya ada dua masjid di sini dan jaraknyapun berdekatan yang satu berdiri megar berwarna hijau sedangkan satunya tampak kontras penampilannya.
(BERSAMBUNG di Part #2)
Menunggu Hujan |
Di sebuah warung di depan pasar saya singgah, sambil menunggu makanan datang saya memperhatikan aktifitas masyarakat di pasar. Seperti pada umumnya masyarakat timur yang mengkonsumsi sirih pinang tampak ibu-ibu dengan meja berjual sirih pianang dan perlengkapannya di depan pasar. Angkot hanya terlihat satu dua yang lewat, namun yang keren adalah angkot berjenis Four wheel drive yang di dibelakangnya dipasangi kursi bahkan ada juga truk yang bagian belakangnya juga dipasangi kursi yang belakangan saya baru tau bahawa itu tujuan desa Warsambin di teluk Mayalibit.
Mayoritas penduduk Waisai adalah pendatang dari Sulawesi, Maluku dan Jawa. Hal ini bisa dilihat papan nama yang ada dikota, bahkan tak sedikit yang langsung menamakan dengan nama daerahnya. Saya juga mendengar cerita bahwa penduduk asli banyak yang terpinggirkan makin jauh dari kota karena tanahnya banyak yang dijual kepada pendatang.
Suasana Pantai WTC |
Ketika sedang asik-asiknya menikmati sarapan hujanpun turun dengan derasnya, terpaksa saya menunggu di warung tersebut, untungnya ada anak gadis yang punya warung sebagai penghibur..:-). Setelah agak reda saya melanjutkan perjalanan menuju tepi pantai yang ternyata masih satu bagian dengan WTC, namun gerimis kembali turun hingga akhirnya saya berteduh di salah satu saung yang berjejer di tepi pantai, sayangnya salah satu saung habis terbakar entah apa sebabnya.
Di WTC banyak toko yang berjejer namun taka da satupun yang buka, mungkin hanya buka pada hari libur atau ketika ada event. Ada juga tugu di lokasi yang agak menjorok ke laut dan didepanya ada tulisan besar “Pantai Waisai Tercinta”.
Pantai WTC |
Karena gerimis yang tak kunjung berhenti akhirnya saya nekad menerobos rintik-rintik air untuk kembali ke penginapan. Dan memilih untuk menikmati hangatnya selimut dan ngobrol-ngobrol dengan Mas Rio yang ternyata juga pernah ke Puruk cahu itu, bahkan dia menunjukan video ketika kunjunganya ke kampung halaman saya.
0 komentar:
Posting Komentar