Pernah ke puncak bukit denganmu
Pernah susur sungai denganmu
Pernah menatap bintang
kau dan aku pernah seperti itu
Saat dalam naungan malam
Saat dalam pelukan bintang
Saat ku dingin kau menyelimuti
Saat seperti itu
Masih ingatkah tentang itu
Dikala kita bermain batu
Ditepian sungai yang bergemericik merdu
Dan dikala sang malam telah tiba
Api unggun menghangatkan cerita
Mendendangkan suasana kesayangan kita
Mendengar lirik “Lagu Kita” dari Tamasya Band mengingatkan ku ketika jadi semi gembel dengan pacar, maklum percintaan beda pulau dan suku membuat kita tidak terlalu sering bersama, dan ketika bertemu kita lebih memilih ngetrip bareng.
Backpacking bareng pacar memang berbeda ketika dengan teman-teman maupun sendiri, ada teman-teman backpacker yang tidak mau jalan bareng pacarnya karena takut terjadi selisih pendapat dan pertengkaran dan akhirnya ketika balik ke rumah harus berpisah untuk selamanya alias putus. Karena menjadi backpacker itu bukan cuma senang-senang tapi kita lebih dituntut untuk survive menghadapi permasalahan yang muncul di jalan ditambah faktor lain seperti capek, nyasar sakit atau bahkan kehabisan uang yang akan memperburuk keadaan kalau tidak dihadapi dengan kepala dingin.
Namanya juga backpacker jadi harus siap-siap untuk capek, yang cewek gak boleh manja, masa jalan dikit udah minta gendong, kasian yang cowoknya bukan. Dan untungnya cewek saya bukanlah tipe cewek manja dan bisa diajak kerja sama dan yang penting gak cerewet.
Kita pertama kali jalan berdua ke Bali tahun 2008, ini juga adalah pengalaman backpacking yang pertama bagi saya. Jauh-jauh hari harus searching di internet tentang bagaimana dan apa yang akan dilakukan di Bali, dan disinilah pertama kalinya saya mengenal istilah backpacker itu.
Well, diturunin di depan hotel yang udah lupa namanya namun mahal akhirnya kita berjalan menuju Popies Lane II mengikuti rute yang saya peroleh di internet ternyata gak dekat dan harus kesana kemari bertanya karena sebagian penginapan sudah penuh. Nyasar barengpun asal dinikmati dan tidak disesali ternyata bisa membawa hikmah, karena waktu itu kita jalan di bali dengan menyewa motor cuma bermodalkan peta dan bertanya kepada penduduk sekitar.
Menempuh medan berat yang berlumpurpun pernah kita lalui bersama seperti ketika ke Pulau Sempu, berjam-jam berjalan kakai bahkan terjatuh beberapa kali terbayar oleh indahnya Laguna Segara Anakan. Namun yang paling romantis tentu saja duduk berdua di tebing batu memandangi lautan luas ketika sunset, walau sebenarnya ada juga teman lain anggap pelengkap aja..#hee . Bersama memandanng bintang di malam hari sambil rebahan di pantai tentunya hal yang tidak bisa kita lakukan ketika Cuma ngedate di kota.
Saling menjaga ketika tidur di Stasiun dan terminalpun pernah kita alami. Yang pertama ketika pulang dari bali kita tiba di Stasiun Banyuwangi terlalu cepat sedangkan kereta Menuju Surabaya baru berangkat larut malam, sehingga akhirnya kursi di Stasiun dijadikan alas untuk tidur. Yang kedua lebih parah ketika tiba di terminal Jepara pukul 3 pagi. Daripada tidur di pelabuhan kartini akhirnya kita untuk memilih tetap di terminal, dan untungnya waktu itu saya membawa Matras sebagai kasurnya dan kursi panjang saya dekatkan sebagai ala skasurnya dan mengalah tidur dengan sarung sedangkan sleeping bag dipakai oleh cewek saya.
Sang cowok tak selalu harus menjadi “Pahlawan” ketika backpacking, ketika kita jalan ke Malang dan Jogjakarta pacar saya yang orang jawa lebih dominan katika kita jalan karea duia lebih menguasai medan dan tentunya bisa berbahasa Jawa sehingga mempermudah komunikasi ketika bertanya kepada orang, sedangkan saya hanya roaming karena tidak mengerti apa yang dibicarakan.
Point yang paling penting adalah duit, uang, atau budget. Walau dengan pacar pendanaan tetap harus dibagi rata, misalnya saya yang bayar penginapan dia yang bayar transportasinya. Yang penting seimbang sesuai dengan perjanjian, jangan sampai ada pihak yang merasa diberatkan karena ada istilah “Uang tidak bersaudara”. Walaupun dia cewek kita namun masalah uang tetap harus mencari sendiri kan, apalagi ketika masih jaman Mahasiswa yang tentunya sangat bermasalah dengan pendanaan dan statusnya hanya sebagai “Pacar” karena belum tentu berlanjut sampai ke pelaminan tergantung jodoh yang telah dituliskan untuk kita. Tapi juga tak menutup kemungkinan salah satu pihak yang menanggung biaya perjalanannya kalau memang mampu dan ikhlas.
Diatas semua kecocokan kami berdua ketika backpacking cuma kurang satu hal yaitu Cewek saya tidak bisa berenang, sehingga ketika snorkeling di Karimun Jawa perhatian menjadi terbagi dua, selain menikmati terumbu karang juga sibuk megangin yang disamping, dan sayangnya saat-saat terakhir baru berani dilepas sendiri. Begitu juga ketika mencoba Donat Boat di Loksado, tanpa pengaman apa-apa duduk di atas ban dalam yang hanyut menyikuti derasnya arus sungai Amandit sehingga saya kembali harus jadi “Hero” di sepanjang perjalanan selalu khawatir dengan keselamatannya.
Walaupun tak selalu bahagia namun backpacker bareng pacar yang pastinya tidak perlu repot-repot membayar mahal untuk biaya foto Prewedding karena sudah banyak koleksi foto-foto bagus di tempat yang indah pula, ketika capek ada yang bisa jadi sandaran bahkan jadi tukang pijit gratis.
Sayapun pernah membayangkan kalau sudah berkeluarga tidak perlu punya rumah cukup beli sebuah Mobil VW combi yang sudah dimodifikasi untuk jadi tempat tinggal yang nyaman dan berkeliling ke tempat-tempat indah Indonesia dengan istri dan anak kita.
0 komentar:
Posting Komentar