Setelah packing saya segera menuju restoran Nusa Bunga untuk membayar biaya penginapan dan menyerahkan kunci (Yang belakangan ternyata lupa saya serahkan..:-). Di sana ternyata saya disambut dan di ajak kebelakang rumah dan berbincang-bincang dengan Mama Sicilia yang mempunyai rumah ini, beliau begitu baik dan bercerita kalau salah satu anaknya juga sedang berada dikalimantan untuk bekerja.
Pasar Inpres |
Sebenanrnya saya ingin segera mencari Bus, namun dipaksa untuk minum-minum. Dan akhirnya saya menunggu di luar sambil membantu cucunya Mega membalaskan surat dari teman kecilnya dari Belanda. Tak lama keluarlah Kopi dan Roti isi mentega, lumayan untuk mengisi perut yang memang sudah mulai keroncongan karena memang belum terisi sejak pagi, apalagi gratis membuat Branch kali ini terasa nikmat.
Karena sudah agak siang maka sedikit susah untuk mencari bus yang lewat menuju Bajawa, walaupun sebenarnya banyak travel yang lewat namun saya indahkan, karena dengan travel sedikit lebih mahal dari Bus. Untuk menuju Bajawa kita bisa menuju Ende terlebih dahulu kemudian naik Bus yang menuju Bajawa atau Ruteng atau Labuan Bajo, selain itu bisa juga langsung dari Moni mencegat bus yang dari Maumere yang menuju kota kota tersebut.
Hingga pukul 2 belum ada juga bus yang lewat, namun ada sebuah bus Damri yang datang dari Ende dan segera kembali ke Ende, saya bergegas untuk naik Bus itu untuk menuju Ende. Kali ini saya duduk di depan dan bisa lebih menikmati perjalanan tidak seperti ketika berangkat dulu, namun kadang saya dibuat deg-degan karena jalurnya yang ekstrim di kiri kanan jurang yang dalam, kalau supirnya tidak hati-hati maka selamat tinggallah dunia.
Ternyata Bus Damri ini hanya sampai terminal Rawareke, sedangkan bus yang menuju Bajawa biasanya berada di terminal Ndao, jadi saya harus naik angkot atau naik ojek ke sana. Sayai turunkan oleh bus di tengah jalan bersama seorang bapak dan saya bertanya bagaimana untuk menuju terminal Ndao, dan kebetulan ada angkot yang lewat lalu saya segera naik angkot itu.
Angkot ini ternyata berputar-putar terlebih dahulu, bahkan ke rumah sakit menjemput rombongan kemudian mengantarkan mereka ke rumah mereka yang jauh masuk ke gang-gang kecil. Lumayanlah bisa sekalian melihat-lihat kota Ende karena kemaren belum sempat berkeliling. Tapi ternyata kemudian saya dioper ke angkot yang lain yang akan melewati terminal Ndao, untungnya saya tidak diminta ongkos tambahan, namun di angkot yang satunya ini sangat penuh, bahkan beberapa pelajar sampai bergelantungan di pintu, dan lagi-lagi saya roaming tak mengerti satupun apa yang mereka bicarakan.
Karena tau saya akan ke Bajawa supir angkotnya menurunkan saya di depan SPBU lewat dari terminal sehingga memudahkan untuk mencegat bus. Begitu turun saya langsung bertanya kepada orang-orang yang ada di situ, namun mereka tidak yakin masih ada bus yang akan menuju Bajawa karena sudah siang seperti sekarang ini, mereka menyarankan untuk naik travel yang mempunyai selisih harga cukup tinggi. Normalnya naik Bus hanya sekitar Rp. 45.000 sedangkan dengan travel Rp. 80.000. sehingga backpacker kere seperti saya sangat menghindari untuk naik travel yang masih banyak berkeliaran tersebut. Namun kemudian ada travel yang datang dan menawarkan saya untuk ikut, saya bersikeras untuk menunggu bus dan bilang bahwa saya tidak punya cukup uang untuk naik travel. Setelah tawar-menawar yang cukup alot entah karena kasian atau memang murah hati akhirnya dia setuju hanya dengan Rp. 50.000 bisa naik dengan tujuan Bawaja..horee
Mobil Avanza yang saya naiki melaju perlahan, hanya sebentar meninggalkan kota Ende handphone saya sudah kehilangan sinyalnya, namun pemandangan di sebelah kiri lautan yang luas membuat saya menjadi terhibur, di sepanjang jalan juga terlihat penduduk yang mengumpulkan batu-batu yang berwarna hijau yang cukup unik, katanya dijual untuk bahan bangunan. Kemudian medan berubah dari yang sebelumnya kita masih di sekitar pesisir kemudian masuk ke daurah pegunungan dengan rute yang meliuk-liuk di atas perbukitan.
Semakin sore terasa semakin dingin, walau matahari masih bersinar namun hawa dinginnya pegunungan masih terasa. Di depan saya malah tampaknya tidak perduli dengan dingin dengan baju kaos tanpa tangan di membiarkan jendela terbuka dengan lebar. Jalan menuju Bajawa sebagian masih dalam perbaikan, terlihat banyak alat berat yang sedang bekerja untuk memudahkan transportasi masyarakat Flores.
Mendekati kota Bajawa saya masih belum tau akan turun dimana, atau tepatnya masih belum ada tujuan. Bahkan ketika sudah masuk kota ketika supir menanyakan saya turun dimana saya sempat bingung untuk menjawabnya. Akhirnya saya putuskan untuk diturunkan di mesjid kemudian baru berfikir sesudahnya. Dan ternyata hanya ada satu mesjid di kota ini, muslim memang menjadi minoritas di beberapa kota di NTT. Bahkan musjid ini masih dalam proses pemugaran, ketika saya datang waktu itu sedang mati lampu sehingga keadaan menjadi gelap. Selesai sholat Magrib saya melihat beberapa bapak-bapak yang sedang ngumpul di pojok mesjid, sayapun mendekat dan bertanya kepada mereka apakah memungkinkan untuk menginap di Mesjid ini.
Mereka menyarankan untuk bertanya kepada dua orang pengurus mesjid yang sedang mengaji di depan, karena takut menganggu saya menuggu beberapa saat tapi salah satu bapak itu mendahului untuk menanyakan kepada imam tersebut, akhirnya saya diijinkan bahkan diberitahu untuk ikut menginap di tempat marbot yang ada di samping mesjid.
Ternyata bapak-bapak ini adalah orang-prang yang sedang melaksanakan manasik haji di kota Bajawa dan kebetulan mereka berasal dari Kecamatan Riung yang sebelumnya saya rencanakan untuk dikunjungi sebelumnya. Dan sayapun mencari informasi dengan dengan mereka, dan ternyata untuk menuju Riung 17 pulau yang ada di sana harus menyewa perahu dengan harga sekitar Rp. 300.000, harga yang berat untuk saya, apalagi saya sendiri dan tidak ada teman untuk sharing cost. Sebenarnya saya ingin tetap nekad berangkat ke sana, kali aja bisa ikut nebeng dengan nelayan atau penduduk sana, namun setelah saya pikir-pikir saya lebih baik saya skip saja tempat ini kemudian ke tempat lain yang lebih pasti.
Di sini saya tidur di tempat marbot mesjidnya yang bernama Tarmizi, orangnya masih muda dan berasal dari pulau Lombok, dengannya saya bertanya lebih banyak informasi tentang apa saja yang bisa dilihat di kota ini. Dan akhirnya saya memutuskan untuk ke desa adat Bena dan pemandian air panas Soa keesokan harinya.
Perut yang belum terisi nasi sejak pagi kini terasa pedih, akhirnya saya keluar untuk mencari makan, namun ternyata jam 8 kota ini sudah sepi, suhunya yang dingin memang lebih enak untuk berselimut di kamar. Setelah makan saya segera beristirahat dan mempersiapkan fisik untuk keesokan harinya, sleeping bag yang selalu saya bawa sangat membantu untuk menghangatkan tubuh saya di tambah jaket tebal yang saya pakai cukup hangat untuk malam ini.
0 komentar:
Posting Komentar